Sabtu, 16 Maret 2013

Kemerosotan Akhlak Anak Bangsa



            Seiring perkembangan jaman yang begitu cepat yang juga mewabah ke Indonesia telah membawa berbagai dampak yang signifikan, baik dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif tentu terlihat dari pemerataan masyarakat Indonesia yang tidak lagi terpisah-pisahkan oleh suku, agama bahkan juga ras. Namun hal ini tentu sangat tidak sesuai dengan dampak negatif yang diberikannya.
           Akhir-akhir ini sangat banyak permaslahan demi permasalahan yang melanda negara tercinta ini, muali dari kasus korupsi, narkoba, perceraian, kesenjangan sosial, pembunuhan dan yang hangat akhir-akhir ini adalah perampasan hak anak dengan berbagai kasus. Hal ini terjadi tentu karena semakin merosotnya akhlak anak-anak bangsa Indonesia yang tidak terlepas dari budaya dunia modern namun melupakan norma-norma budaya Indonesia.
            Bila kita melihat pemberitaan media akhir-akhir yang sangat banyak mengenai pelanggaran hak anak Indonesia, muali dari pemerkosaan, penyodoman, aborsi,  bahkan pembunuhan dan celakanya hal ini sangat banyak dilakukan oleh pihak keluarga dari anak itu sendiri. Jika demikian maka akan kemanakah anak itu harus mengadu. Rumah yang seharusnya tempatnya untuk berlindung berubah menjadi bak neraka yang sangat menakutkan. Jika kehidupan luar baginya berbahaya, kini seolah-olah rumahnya sendirilah yang lebih berbahaya. Seorang anak tak mampu berbuat apa-apa selain hanya diam akibat dari tekanan-tekanan yang diberikan pelaku dengan berbagai ancaman yang dapat membahayakan anak itu sendiri, sehingga anak hanya bisa terdiam dalam tekanan meratapi haknya yang telah dirampas dengan cara yang biadab yang tidak jarang berhujung pada kematian.
            Semakin merosotnya akhlak anak-anak bangsa ini dapat dilihat dari kasus-kasus yang selalu bertambah setiap tahunnya. Sepanjang tahun 2011 KomNas Anak  menerima 2.386 kasus pengaduan. Angka ini meningkat 98% jika dibanding dengan pengaduan masyarakat yang di terima Komisi Nasional Perlindungan Anak pada tahun 2010 yakni berjumlah 1.234 pengaduan. Menurut Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI bahwa   di tahun 2010  lembaga ini mencatat 285.184 kasus perceraian. Angka ini tertinggi sejak 5 tahun terakhir. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa 10.019 kasus perceraian dipicu cemburu, 67.891 dipicu masalah ekonomi, 91.041 kasus dipicu ketidakharmonisan dalam keluarga, dan 334 kasus dipicu masalah politik. 59 persen gugatan cerai dilakukan oleh perempuan dan 48 persen perceraian di picu oleh kasus perselingkuhan, dan selebihnya di picu oleh Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dampak dari perceraian ini, ratusan ribu anak menjadi korban terpisah dari salah satu orangtuanya.
            Indonesia merupakan salah satu negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai serta norma agama dan budaya. Indonesia juga merupakan salah satu negara yang paling banyak belajar agama pada dunia pendidikan, mulai dari SD, SMP, SMA, bahkan PT. Melihat hal ini tentu peristiwa-peristiwa biadab tidaklah seharusnya terjadi dinegara tercinta ini atau setidaknya hanya berada pada angka yang kecil.

Berikut kasus-kasus yang terjadi pada anak-anak bangsa
Kekerasan
Dalam klaster anak membutuhkan perlindungan khusus, sepanjang tahun 2011, KomNas Anak telah mencatat 2.508 kasus kekerasan terhadap anak. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2010 yakni 2.413 kasus.  1.020 atau setara 62,7 persen dari jumlah angka tersebut adalah kasus kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk sodomi, perkosaan, pencabulan serta incest, dan selebihnya adalah kekerasan fisik dan psikis. Celakanya hal ini banyak terjadi dengan pelaku utamanya adalah orang terdekat dari korban itu sendiri, seperti orang tua, guru, paman, saudara dan tetangga. Melihat kejadian ini tentu telah menjadi indikasi gagalnya keluarga dan orang tua sebagai salah satu pilar penanggung jawab perlindungan anak seperti pada UU Perlindungan Anak.

Anak Berhadapan Dengan Hukum
Demikian juga dengan angka kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Sepanjang tahun 2011 KomNas Anak menerima 1.851 pengaduan anak yang berhadapan dengan hukum (anak sebagai pelaku) yang diajukan ke pengadilan. Angka ini meningkat dibanding pengaduan pada tahun 2010, yakni  730 kasus.  Hampir 52 persen dari angka tersebut adalah kasus pencurian diikuti dengan kasus kekerasan, perkosaan, narkoba, perjudian, serta penganiayaan dan hampir 89,8 persen kasus anak yang berhadapan dengan hukum berakhir pada pemidanaan atau diputus pidana.
Sementara itu, sistem hukum dan penerapannya belum mampu memberikan jaminan terhadap perubahan perilaku anak yang terlanjur menjadi terpidana. Anak-anak yang mendekam di penjara justru seringkali  menyerap dan belajar berbagai pengalaman kriminalitas yang lebih canggih lagi dari senioritasnya selama di dalam penjara. Pengalaman buruk selama mengikuti proses hukum dan pemidanaan juga mempengaruhi tumbuh kembang anak menuju kedewasaan. Keadaan ini menunjukkan bahwa negara khususnya penegak hukum gagal melaksanakan amanat UU Pengadilan Anak, UU Perlindungan Anak maupun instrumen internasional yakni Konvensi PBB tentang Hak Anak.

Narkoba
Pada 2006, pasien narkoba remaja di Rumah Sakit yang khusus menangani kasus ketergantungan narkoba hanya 2000-an orang. 5 tahun kemudian, yakni pada 2011, jumlahnya sudah naik empat kali lipat. Parahnya, rata-rata pecandu narkoba berusia di bawah 19 tahun.  Tak heran jika 2006, Badan Narkotik Nasional (BNN) mengumumkan bahwa 80% dari 3,2 juta pecandu narkoba adalah remaja dan pemuda. Sementara itu, angka siswa sekolah yang terjerat narkoba juga terus meningkat dan dalam situasi memprihatinkan. Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat sebanyak 110.870 pelajar SMP dan SMA menjadi pengguna Narkotika. BNN juga melaporkan 12.848 anak siswa SD di Indonesia terindentifikasi mengkonsumsi Narkoba.

Rokok
Indonesia merupakan  negara ketiga yang paling besar mengkonsumsi rokok setelah Cina. Fenomena yang terjadi adalah tidak hanya orang dewasa yang cukup umur saja yang merokok, melainkan anak balita yang masih berumur di bawah lima tahun pun sudah merokok. Data Susenas menunjukan Prevalensi perokok yang mulai merokok pada usia 5 – 9 tahun meningkat lebih dari 4 kali lipat sepanjang tahun 2001 – 2004, sedangkan remaja usia 15 – 19 tahun meningkat sebanyak 144% selama tahun 1995 hingga 2004. Secara rinci Susenas 2001, 2004 dan Riskesdas 2007, 2010 memberikan gambaran tren perokok pemula remaja usia 10-14 naik hampir dua kali lipat dalam waktu kurang dari 10 tahun. sementara kelompok usia 15-19 tahun naik dari 58,9% tahun 2001 menjadi 63,7% pada tahun 2004.

Pembuangan Bayi
Sepanjang tahun 2011,  KomNas Perlindungan Anak menghimpun data melalui pengaduan lanngsung masyarakat maupun laporan media masa ditemukan 186 bayi sengaja dibuang oleh kedua orangtuanya. Angka ini meningkat dibanding tahun 2010 yakni 104 bayi.  68 persen bayi yang ditemukan dalam kondisi meninggal dunia, selebihnya dapat diselamatkan  oleh mayarakat dan dititipkan ke panti-panti sosial anak milik pemerintah maupun swasta. Umumnya, bayi-bayi ini ditemukan masyarakat di bak sampah, halaman atau teras rumah warga masyarakat, di sungai, got dan pembuangan air selokan, rumah ibadah, terminal bis serta di stasiun dan di terminal kereta api.

Penculikan Bayi
Tahun 2011 ini, KomNas Anak menerima Pengaduan  120 kasus anak hilang. 35 diantaranya hilang dari rumah bersalin seperti Rumah Sakit, Klinik maupun Puskesmas. Jumlah ini meningkat  jika dibanding tahun 2010 yakni 111, 26 anak diantaranya hilang di tempat yang sama, selebihnya hilang dari lingkungan rumah, sekolah dan tempat-tempat bermain anak. Pelaku penculikan dan penghilangan paksa  umumnya adalah orang terdekat, dan paling tidak mengenal korban atau keluarganya.
Dari pengalaman empirik Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat, bahwa tujuan penculikan dan penjualan  anak-anak berusia di bawah 1 tahun, adalah untuk tujuan adopsi ilegal baik untuk permintaan dalam negeri dan inter-country. Dari kasus-kasus penculikan bayi yang berhasil dibongkar oleh pihak Kepolisian ditemukan fakta bahwa bayi-bayi yang diadopsi secara illegal, tersebut umumnya para adopter memberikan imbalan kepada para pelaku  dengan kisaran  harga 5 -10 juta sebagai pengganti biaya persalinan dan perawatan. Selain itu, ada juga data-data menunjukkan anak diculik untuk tujuan eksploitasi seksual dan eksploitasi ekonomi  bagi anak-anak yang berusia dibawah 12 tahun. Dipekerjakan di jalanan maupun ditempat-tempat prostitusi.

Aborsi
Dalam kasus perampasan hak hidup, data yang dihimpun KomNas Perlindungan  Anak menemukan  dalam kurun waktu tiga tahun (2008-2010) kasus aborsi terus meningkat. Tahun 2008 ditemukan 2 juta jiwa anak korban Aborsi, tahun berikutnya (2009) naik 300.000 menjadi 2,3 juta janin yang dibuang paksa. Sementara itu Pada tahun 2010 naik dari 200.000 menjadi 2,5 juta jiwa. 62,6 % pelaku diantaranya adalah anak berusia dibawah 18 tahun. Metoda aborsi 37 persen dilakukan melalui kuret, 25 persen melalui oral dan pijatan, 13 persen melalui cara suntik, 8 persen memasukkan benda asing ke dalam rahim dan selebihnya melalui jamu dan akupuntur.

Penelantaran Anak
Dirjen Yanresos Depsos RI  tahun 2009, melaporkan ditemukan 17.694.000 anak balita terlantar dan hampir terlantar. Sementara itu anak yang baru  mendapatkan pelayanan sosial baru mencapai 1,186.941 jiwa atau baru 6,71 persen saja,  sementara 5.4 juta anak-anak dalam kondisi terlantar dan membutuhkan perlindungan dari negara.

Anak Pecandu Pornografi
Sepanjang tahun 2011, KomNas menerima  22 kasus pengaduan tentang pornografi yang dilakukan anak-anak usia SMP dan SMA. Sementara itu, menurut data Yayasan Buah Hati dilaporkan bahwa 83,7 persen anak SD kelas IV dab Kelas V yang di teliti telah kecanduan pornografi.

            Fakta mencengangkan lain adalah perilaku seks bebas yang semakin meraja lela terutama dikalangan remaja. Berikut adalah data survei dari Komnas PA. Sebanyak 62,7% remaja SMP tidak perawan dan 21,2% remaja mengaku pernah aborsi.Perilaku seks bebas pada remaja tersebar di kota dan desa pada tingkat ekonomi kaya dan miskin. Data tersebut didapat berdasarkan survei yang dilakukan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) tahun 2008, dari 4.726 responden siswa SMP danSMAdi17kotabesar. Sementara menurut data BKKBN tentang Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia tahun 2002-2003, remaja yang mengaku memiliki teman yang pernah berhubungan seksual sebelum menikah pada usia 14-19 tahun mencapai 34,7% untuk perempuan dan 30,9% untuk laki-laki.


Referensi dan Sumber Data : 

Sabtu, 09 Maret 2013

Tuhanku



Saat tubuuh tak lagi dipeluk
Saat hari-hari tak ada lagi yang menemani
Dan saat aku jatuh semua orang meninggalkanku...
Ku merasa hidup ini benar-benar sendiri
Ku merasa hidup ini tak lagi berarti...
Nafas seolah enggan berhembus
Mata seakan menutup...
Kucari... Kucari...  dan kucari...
Namun tak satupun makna yang kutemui..
Aku menangis di dalam pilu
Aku merintih di dalam kesesakan
Kepalaku tertunduk dengan mata yang menutup...
Bagai kilat yang tak terkira
Sebuah cahaya mengitariku dengan segala kehangatannya
Dia yang empunya kehidupanku datang mengangkatku
Aku tersadar aku telah melupakan Dia yang selalu peduli dengan kehidupanku
Aku berpaling dariNya yang sempurna mengasihiku
Akku tak memanggil Dia yang selalu mendengarkanku
Dan aku tak meminta kepadaNya yang memberikanku hidup
Tuhanku, terimakasih buat kebaikanMu
Tuhanku, aku datang dengan harapan
Aku meminta dalam kepastian
Dan aku berserah dalam kepasrahan...

Restorasi Jati Diri Bangsa Sebagai Negara Agraria



            Jika berbicara mengenai restorasi bangsa sebagai negara agraris, tentu sekilas kita harus menilik sejarah pertanian bangsa Indonesia. Indonesia selalu dikenal dengan negara agraria, yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, tanah yang subur dan budaya yang sangat beragam. Pentingnya menilik sejarah pertanian bangsa tentu bukanlah hanya semata-mata untuk bernostalgia atau sekedar membangga-banggakan prestasi bangsa dahulu kala yang memang sukses mencapai swwasembada beras dan negara eksportir gula yang sangat besar, tapi kita melihat sejarah adalah sebagai cermin untuk bisa menentukan  tolak ukur untuk sebuah tindakan memperbaiki keadaan pertanian bangsa yang sudah sangat mengenaskan bahkan akan terancam krisis pangan. Akhir-akhir ini memang pangan telah menjadi topik yang sangat hangat dibicarakan diberbagai kalangan, sebagai refleksi dari keadaan pertanian bangsa yang kini menjadi persoalan yang sangat krusial.

            Perjalanan sejarah pertanian Indonesia dihiasi beberapa prestasi yang patut untuk dibanggakan, yang mana setelah kemerdekaan bangsa, Indonesia berhasil melakukan swwasembada beras dan dikenal sebagai negara eksportir gula yang utama. Namun sangat disayangkan hal ini tidak bisa bertahan lama, karna Indonesia dikenal sebagai negara yang berhasil menjadi negara swasembada beras hanya bertahan hingga pada tahun 1984. Pada tahun 1985, Indonesia mengimpor beras sebanyak 9.429. Sedangkan pada Tahun 1987 impor beras Indonesia meningkat menjadi 54.830 ton dan pada Tahun 1992 mencapai 566.441 ton, hingga pada tahun 2012 Indonesia mengimpor beras sebanyak 1,2 juta ton dengan nilai 6,5 triliun. Angka ini telah membawa negara Indonesia menempati peringkat kedua importir beras terbesar didunia setelah negara Filipina.

            Indonesia yang dulu dikenal sebagai negara swasembada beras, kini telah menjadi hanya sebuah cerita masa lalu. Indonesia yang dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam melimpah juga sepertinya hanyalah sebuah kalimat semata, karna kenyataannya banyak sumber daya alam Indonesia justru dinikmati negara lain, yang lebih miris adalah kekayan alam Indonesia tidak sedikitpun dinikmati bangsa dan celakanya masyarakat Indonesia telah menjadi buruh negara lain di Indonesia. Kita tilik sejenak UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang menyatakan "Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat", namun apa mau dikata, sepertinya yang terjadi dinegara tercinta malah sebaliknya kekayaan alam negeri adalah untuk kesejahteraan negara lain dan hanya menyisakan pilu ditanah air.

Lalu bisakah restorasi jati diri bangsa sebagai negara agraris itu dilakukan???

            Tentu bukan tidak mungkin hal ini terjadi, jika melibatkan berbagai elemen, salah satu yang paling signifikan adalah menerapkan program yang berbasis kemitraan petani lokal Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan perluasan lahan pertanian serta menghentikan segala upaya pengalihfungsian lahan pertanian. Lalu kemudian diikuti dengan pemberian pupuk bersubsidi serta bibit-bibit unggul bagi petani. Dengan demikian sejauh ini akan dapat memicu semangat para petani untuk bertani. Hal lain tentu dengan melibatkan lembaga-lembaga pertanian atau lembaga-lembaga penilitian untuk melakukan penelitian-penilitian serta pengembangan-pengembangan yang dapat membangun pertanian tentu dengan penerapan teknologi pertanian, sehingga selain mengurangi tenaga manusia, juga meningktakan efesiensi kerja yang dapat meningkatkan jumlah produksi.

            Terlepas dari hal-hal diatas, yang terpenting adalah kebijakan pemerintah akan sistem pertanian Indonesia, salah satu yang bisa dikorelasikan adalah terkait kebijakan import. Impor kini telah merajalela ditanah air, dan hal ini telah menjadi salah satu penyebab yang melumpuhkan pasar lokal. Selain itu perlunya perhatian khusus dari pemerintah pada sektor pertanian, seperti hanlnya pada era pemerintahan presiden Soeharto yang meletakkan sektor pertanian sebagai prioritas utama. Harga pasar lokal juga tentu perlu menjadi perhatian, karena seringkali harga pada pasar lokal melambung tinggi dan tidak dibarengi dengan kualitas daripada produk yang menyebabkan konsumen lebih memilih untuk membeli produk import yang hrganya lebih murah. Hal ini terjadi tentu tidak terlepas dari lemahnya pengawasan dari pemerintah akan hal ini, terbukti bahwa sistem import diserahkan sepenuhnya pada mekanisasi pasar.

            Indonesia memiliki berbagai organisasi yang bermitra kepada petani, baik ormas maupun organisasi kemahasiswaan. Pemberdayaan akan organisasi ini bisa saja berpengaruh besar akan kemajuan pertanian Indonesia, karena terbukti selama ini justru organisasi inilah yang lebih dominan memperjuangkan kemajuan pertanian Indonesia, nkarena didalam organisasi itu sendiri banyak yang memang berprofesi sebagai petani. Dengan demikian secara tidak langsung petani juga telah ikut diberdayakan.

            Hal lain untuk masa mendatang adalah generasi bangsa, yaitu pelajar. Pelajar adalah anak—anak bangsa yang nantinya akan menjadi pemangku kebijakan yag saat ini berjalan. Kenyataan yang ada saat ini adalah kurangnya minat para pelajar (paling tampak pada kalangan mahasiswa) terhadap pertanian. Jika saja kita bertanya kepada para pelajar mengenai cita-citanya, maka hanya ada 1 dari 1000 orang (mungkin lebih 100.000) yang akan menjawab ingin menjadi petani atau memperbaiki pertanian di Indoensia. Jika dilihat dari kondisi petani yang ada di Indoensia, memang hal ini adalah hal yang realistis. Petani di Indonesia adalah pada umumnya masyarakat yang ekonominya berada pada kelas menengah ke bawah. Tidak heran jika seorang petani akan mati-matian berjuang untuk anaknya agar kelak bisa menjadi pekerja kantoran dan tidak menjadi petani. Hal- hal ini mungkin bisa dikatakan telah menjadi stigma dibanyak kalangan, dengan demikian perlu adanya suatu upaya untuk merubah paradigma ini. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan mensejahterakan kehidupan petani, sehingga akan menjadi parameter bagi generasi yang masih berada pada dunia pendidikan. Kemudian perbaikan sistem pendidikan, tentu dengan sentuhan-sentuhan teknologi moderen, sehingga bagi para pelajar pertanian bukanlah merupakan pendidikan yang tertinggal. Selain itu adalah dengan meringankan biaya pendidikan, sehingga akan mempermudah masyarakat yang memiliki ekonomi lemah untuk turut menikmati pendidikan pertanian. Terakhir adalah memberikan apresiasi terhadap pelajar-pelajar yang berhasil berkreasi menemukan sesuatu untuk perkembangan dunia pertanian.

            Penerapan berbagai hal-hal serta pemberdayaan berbagai elemen akan memulai sebuah upaya perjalanan menuju kemandirian pangan bangsa, sehingga krisis panganpun bisa dicegah dan jati diri negarapun seabagai negara yang berhasil swasembada beras terjadi sebuah proses restorasi. Dengan demikian, maka relevanlah negara Indonesia sebagai negara yang selalu disebut-sebut negara agraris.


Referensi: