Perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement) atau yang
sering disebut dengan FTA yang didorong oleh Uni Eropa bisa dikatakan sebagai
strategi yang sengaja dikembangkan untuk menyusul kebuntuan proses negoisasi
liberisasi perdagangan dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dimana sejak
tahun 2001 perundingan yang bertujuan untuk melanjutkan pengurangan bea masuk
dan mengawasi pengurangan subsidi pertanian tidak menghasilkan apapun. Ditengah
kebuntuan ini, Uni Eropa terus mendesak penandatangan perjanjian perdagangan bebas
dengan negara-negara berkembang di dunia, termasuk negara Indonesia.
Dalam FTA
terakhir yang dinegosiasikan oleh Uni Eropa, berarti negara-negara selatan
menekan kurang lebih 80 persen dari bea masuk mereka bagi produk-produk Eropa.
Untuk negara-negara seperti Indonesia yang mendapatkan keuntungan dari sistem
prefensi umum yang artinya beralih dari kondisi perdagangan tanpa timbal balik,
menjadi situasi yang hampir liberisasi penuh. Isu ini menjadi sangat penting
bagi negara Indonesia, apakah akan mencari akses penuh kepasar Eropa, tetapi
harus membuka sebagian besar pasar domestiknya untuk produk Uni Eropa, atau
memilih melindungi produsen lokal dari persaingan dengan produk Uni Eropa.
Walaupun ini berarti adanya persaingan tidak seimbang antar negara.
Bagaimana
dengan sektor pertanian di Indonesia yang merupakan salah satu sektor paling
rentan dalam perdagangan bebas? Liberisasi perdagangan di sektor pertanian sudah
tentu akan membuka pasar regional ASEAN dan akan meningkatkan persaingan antara
negara kawasan ini. Pada umumnya negara-negara di ASEAN memproduksi
produk-produk pertanian yang relatif sama sebagai akibat dari kondisi iklim
yang sama, untuk itu besarnya manfaat perdagangan bebas yang dapat diraih
sangat tergantung dari daya saing produk pertanian masing-masing negara ASEAN
tersebut.
Dalam
perdagangan bebas, produk yang mempunyai daya saing tinggi akan mampu bertahan,
terus meningkat dan berkembang, bahkan memungkinkan untuk mendominasi pasar
internasional. Sebaliknya, produk pertanian yang daya saingnya rendah akan
terancam keberadaanya dan akan mengakibatkan turunnya produksi dalam negeri
serta berkurangnya pendapatan petani. Selain itu, rendahnya daya saing juga
akan menjadi ancaman terhdap kedaulatan pangan. Pada beberapa tahun belakangan
ini telah terjadi tren ke arah peningkatan perdagangan produk-produk pertanian
diantara negara-negara dikawasan ASEAN, termasuk negara Indonesia. Hal ini
dibuktikan dengan maraknya produk-produk impor dipasar domestik yang kini telah
menyampingkan produk-produk lokal yang disebabkan tidak mampu bersaing dengan
produk luar.
Dampak dari
liberisasi perdagangan sektor pertanian bagi Indonesia adalah akan meningkatkan
impor pangan, dimana hal ini akan mengakibatkan resiko kerwanan pangan karena
Indonesia menjadi sangat tergantung pada produk pangan impor. Selain itu,
liberisasi perdagangan sektor pertanian dan pangan akan menyebabkan lumpuhnya
pedagang-pedagang lokal karena produk-produk pertanian pangan dari negara maju
khususnya akan lebih unggul dalam bersaing dengan produk-produk pertanian
pangan dalam negeri.
Sebagaimana
yang dialami petani bawang putih belakangan ini, akibat dari penghapusan tarif
impor bawang putih dari China, setelah sebelumnya, yaitu tepatnya pada tahun
1996 tarif impor bawang putih diturunkan menjadi 5 persen. Yang sangat ironis
adalah impor bawang putih ini dapat dilakukan secara bebas tanpa menggunakan
acuan standar mutu, akibatnya pasar bawang putih domestik dibanjiri produk
China. Kebijakan untuk menurunkan tarif impor, menyebabkan harganya
jauh lebih murah dibanding bawang putih lokal, akibatnya gairah petani
untuk menanam bawang putih semakin menurun karena tidak menguntungkan lagi
bahkan banyak petani dan pengusaha yang terpaksa gulung tikar. Semakin menurunnya
gairah petani untuk menanam bawang putih terlihat dari semakin menurunnya
produksi bawang putih lokal yang kini hanya mampu memenuhi 5 persen dari
400.000 ton/th kebutuhan pasar, yang artinya 95 persen harus dipenuhi oleh
impor.
Harga produk
pertanian yang murah dipasar domestik dan berkurangnya lahan pertanian akibat
ganasnya pengalihan fungsi lahan menyebabkan petani tidak lagi mempunyai minat
untuk berproduksi. Secara agregat, berkurangnya minat petani untuk berproduksi
karena produk-produk petani lokal kalah bersaing dengan produk-produk luar
dipasaran. Seiring waktu hal ini akan menyebabkan menurunnya produksi pertanian
nasional, tentu hal ini sangat
berpotensi sebagai ancaman besar bagi kedaulatan pangan Indonesia.
Teori-teori perdagangan bebas harusnya diberi catatan kritis dari apa
yang terjadi secara nyata dinegri ini. Para penganut paham perdagangan bebas
seperti yang diamini oleh pemerintah saat ini seharusnya belajar dari
perkataan-perkataan para kriktikus perdagangan bebas, yang mana bahwa sesungguhnya
perdagangan bebas yang dirumuskan oleh teori-teori yang ada ternyata hanya
tinggal diatas kertas dan tidak demikian implementasinya pada kenyataan.
Perdagangan bebas yang berlangsung selama ini tidaklah sepenuhnya bebas,
melainkan senantiasa diwarnai oleh ketidak adilan dan kebijakan-kebijakan harga
yang tidak kompetitif. Tidak jarang kita mendengarkan produk pertanian
Indonesia yang diekspor dipulangkan kembali karena tidak memenuhi standar mutu.
Hal ini tentu bukanlah merupakan bagian dari relevansi dari sistem perdagangan
bebas, hal ini bukan tidak mungkin hanya akal-akalan pemerintah negara luar
saja untuk melindungi produk lokalnya. Contohnya saja terkait persyaratan untuk
ekspor ikan ke Uni Eropa, yang terlihat terlalu muluk-muluk dimana untuk bisa
melakukan ekspor ikan ke Uni Eropa harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
tidak boleh berasal dari penangkapan ilegal, untuk hasil budidaya tidak boleh
mengandung residu antibiotika, penangkapan dari laut dan jenis perusahaan harus
sudah tersertifikasi. Contoh kasus lain adalah negara Jepang, singapura dan
Malasya, negara lain tidak akan pernah bisa mengeksport produk pertanian
kenegara ini kecuali produk pertanian organik.
Sangat
berbeda dengan produk yang masuk ke Indonesia, produk-produk luar masuk ke
Indonesia dengan begitu bebas tanpa adanya proses penyaringan dan sama sekali
tidak menggunakan acuan standar mutu, sehingga akibatnya pasar domestik
dibanjiri oleh produk-produk impor yang kebanyakan hasil rekayasa yang secara
visual sangat jauh lebih baik dari produk lokal, baik dari ukuran maupun kebersihannya.
Hal lain adalah sistem perdagangan yang mengacu kepada aturan-aturan WTO yang
menyebabkan terjadinya bias pasar. Secara keseluruhan dampak dari hal ini
adalah semakin lumpuhnya produk-produk lokal dipasaran domestik akibat dari
tidak mampu bersaing dengan produk-produk impor, dapat kita lihat bahwa saat
ini masyarakat Indonesia yang sudah jauh lebih bangga dengan produk impor
dibanding produk lokalnya sendiri, disisi lain tidak adanya upaya pemerintah
untuk memproteksi produk lokal menjadi anak-anak tangga bagi produk impor untuk
merajai pasar domestik.
Ketidakmampuan
produk lokal untuk bersaing dengan produk-produk luar telah membuat produk
lokal kehilangan citranya dinegri ini, untuk itu perlu adannya upaya untuk
mengembalikan citra dari produk-produk lokal negri ini guna untuk meningkatkan
daya saingnya. Selain itu kesungguhan pemerintah adalah hal terpenting, tentu
dengan penerapan peraturan-peraturan yang mengupayakan untuk melindungi produk
lokal yang tidak semata-mata bergantung pada aturan—aturan WTO, salah satunya
adalah penetapan standar mutu produk impor yang masuk ke Indonesia serta
mengevaluasi kembali akan kebijakan-kebijakan harga produk-produk impor yang
tidak kompetitif.
Salammmm...