Tampilkan postingan dengan label Kumpulan Berita Pangan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kumpulan Berita Pangan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 22 Oktober 2013

Soal Kemandirian Pangan

Menjelang bulanbulan terakhir masa jabatan Presiden Amerika Serikat (AS), Jimmy Carter (1977-1981), terbit sebuah buku Global 2000 Report to the President setebal 766 halaman karya Komisi Pemerintah AS yang mendapat tugas dari Presiden Jimmy Carter. Isinya laporanlaporan masalah pangan, air, ekologi, dan penduduk menjelang tahun 2000 yang lalu. Salah satu isi laporan tersebut menyatakan dunia tak cukup memberi makan untuk seluruh penduduk pada tahun 2000.

Meskipun ternyata isi laporan tersebut tak sepenuhnya terbukti, krisis pangan berulang kali terjadi di berbagai belahan dunia antara tahun 1981-2000. Selama kurun waktu tersebut juga banyak penduduk meninggal karena kelaparan. Laporan itu juga mengingatkan waktu untuk mengambil tindakan mencegah terjadinya hal ini hampir habis.

Kalau negara-negara secara kolektif dan sendiri-sendiri tidak mengambil langkah yang berani dan imajinatif ke arah perbaikan keadan sosial dan ekonomi, kesuburan yang berkurang, pengelolaan sumber-sumber yang lebih baik serta perlindungan lingkungan hidup, dunia tak dapat tidak akan mengalami kesulitan memasuki abad ke-21. Bahkan, laporan tersebut juga mengisyaratkan kekurangan air bisa mengakibatkan pecah perang.

Tentu kajian Global 2000 Report to the President tersebut tidak harus dipandang sebagai harga mati, tapi harus lebih dilihat sebagai peringatan untuk mengantisipasi masa depan. Tekanantekanan serius yang menimpa Bumi menyangkut penduduk, sumber daya alam, dan lingkungan hidup, sangat berpengaruh besar dalam penyediaan bahan pangan. Rumit Awal abad ke-21, persoalan pangan ternyata semakin sulit, rumit, dan kompleks.

Kemandirian pangan nasional boleh dikata masih rentan, meskipun tidak sampai terjadi bahaya kelaparan. Ironisnya, ketika kebutuhan bahan pangan semakin meningkat, sektor pertanian justru menurun. Dibandingkan beberapa dasawarsa yang lalu, makin banyak alangan pengadaan pangan, terutama dilihat dari sisi konsumsi dan produksi. Pada sisi konsumsi atau permintaan muncul masalah lonjakan jumlah penduduk, penggunaan komoditas pangan untuk bahan bakar, dan kesejahteraan yang meningkat.

Kombinasi dari ketiga faktor dari sisi permintaan itu mengakibatkan kenaikan konsumsi pangan yang luar biasa. Sementara itu, dari sisi produksi, tanah rusak, lahan menurun, lahan untuk usaha non pertanian, pengalihan air dari pertanian ke kebutuhan air warga perkotaan, produktivitas tanaman yang mandek, dan perubahan iklim global. Yang tak kalah penting produktivitas pangan naik tidak signifi kan karena belum muncul penemuan teknologi pembenihan beberapa tahun belakangan.

Pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan meluasnya areal perumahan, industri, dan jalan raya juga menyebabkan penurunan lahan pertanian. Banyak lahan pertanian yang berubah fungsi menjadi perumahan dan industri sudah sering didengar. Tetapi dengan terus bertambahnya jumlah kendaraan, yang juga mengurangi luasan lahan pertanian, sering kali kurang diperhitungkan.

Dengan jumlah kendaraan di Indonesia yang sebesar 94,2 juta (Korlantas, 2012), tentunya bisa dihitung seberapa banyak akan mengurangi lahan pertanian. Dengan kondisi seperti itu, akibatnya bisa ditebak, produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi. Sayang, kondisi seperti ini berlangsung terus-menerus tanpa upaya serius untuk mengatasinya. Impor bahan pangan pun kemudian menjadi andalan. Komoditas impor seperti beras, kedelai, jagung, daging, gula, bawang, gandum, buah-buahan banyak membanjiri pasar domestik.

Nilai impor pangan tahun 2012 mencapai 250 triliun rupiah atau 50 persen dari total impor. Banyak yang berpendapat impor pangan bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Karena besarnya nilai peredaran uang, impor pangan dipertahankan sebagai lahan bisnis orang-orang tertentu. Kasus impor daging sapi yang menimpa Luthfi Hasan Ishaq, Ahmad Fathanah, dan PT Indoguna, secara terang-benderang menggambarkan itu semua.

Mereka melakukan manipulasi mulai dari data, besaran komisi dan suap, jumlah kuota. Semua telah dirancang untuk membutru rente ekonomi. Perilaku ini, langsung atau tidak, menjadikan para petani atau peternak apatis untuk menghasilkan bahan pangan. Bagaimana tidak, pada saat-saat panen, harga justru anjlok. Sebelum panen, banyak impor dan dimikmati kalangan berdasi dengan dalih membantu kebutuhan pangan rakyat.

Dalam jangka panjang cara-cara memenuhi kebutuhan pangan seperti ini jelas tidak sehat. Para pakar meramalkan bahwa di masa depan banyak negara lebih disibukkan untuk mengurus instabilitas politik akibat kekurangan pangan dan harga pangan yang mahal. Kondisi tersebut tak akan terjadi bila negara yang bersangkutan memiliki kedaulatan pangan, yaitu lebih banyak memproduksi sendiri ketimbang impor.

Tekad Kuat Belakangan, bangsa ini seperti mengalami kemerosotan kepercayaan diri, khususnya dalam bidang pertanian. Padahal, semua bangsa yang maju dan sejahtera memiliki kepercayaan diri yang besar dan kemandirian yang menonjol. Tak ada satu pun bangsa sukses karena pemberian orang lain. Peningkatan produksi pangan nasional tidak bisa ditawar lagi bila ingin lepas dari jerat kebergantungan pada impor.

Di bidang pangan, Indonesia bukan hanya berpotensi swasembada, tetapi juga menjadi eksportir produk-produk pertanian tropis, sekaligus dengan agroindustrinya. Hal itu dapat dicapai bila Indonesia memiliki politik pangan yang mantap. Perlu mencapai swasembada 100 persen dan menjadi eksportir utama produk-produk pertanian tropis. Pencapaian kemandirian pangan akan memperbesar kebanggan na sional, meningkatkan kesejahteran rakyat, menghemat devisa, tercapainya jaminan pasokan, dan penciptaan lapangan kerja yang luas.

Belum optimalnya pendayagunaan potensi pertanian tropis karena wawasan pimpinan nasional tentang potensi pertanian tropis masih minim. Indonesia perlu memadukan beberapa faktor strategis ekonomi, secara optimal memanfaatkan keunggulan komparatif yang terdiri atas sektor pertanian (perkebunan, pangan, hortikultura, peternakan) termasuk agroindustri, kehutanan, pertambangan, perikanan modern, dan pariwisata. Perlu dicatat bahwa tidak banyak negara yang memiliki potensi keunggulan sebanyak Indonesia. Masa depan hanyalah milik mereka yang hari ini merencanakannya dengan tepat dan melaksanakannya dengan cerdas dan konsisten

Sumber : http://koran-jakarta.com

Kebijakan Stabilisasi Harga Pangan 2002-2012

Sistim perdagangan pangan dunia yang semakin terbuka atau pasar bebas menyebabkan harga produk pangan di dalam negeri ikut terpengaruh oleh situasi dan kondisi harga internasional. Kondisi tersebut dan berbagai masalah ketersediaan dan distribusi, menyebabkan harga komoditas pangan, terutama pangan strategis seperti beras, kedelai, daging sapi, cabai dan bawang merah menjadi berfluktuasi. Indonesia sebagai negara agraris menghasilkan berbagai macam produk pangan strategis, bahkan untuk komoditas tertentu sudah surplus.
Agar produksi pangan dapat berkelanjutan, dan kebutuhan pangan masyarakat dapat terpenuhi, pemerintah harus melindungi masyarakat dan petani dari gejolak harga, seperti harga jatuh pada saat panen raya, dan harga melambung pada saat di luar panen. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan kebijakan stabilisasi harga pangan agar petani sebagai produsen mendapatkan hasil yang menguntungkan, dan masyarakat sebagai konsumen mampu membeli bahan pangan dengan harga yang terjangkau.
Kebijakan stabilisasi harga pangan berperan dalam memantapkan ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan ketahanan/stabilitas politik nasional. Pengalaman Tahun 1996 dan Tahun 1998 membuktikan bahwa terjadinya goncangan ekonomi yang kemudian berubah menjadi krisis politik, terjadi karena harga pangan melonjak drastis dalam jangka waktu yang pendek. Untuk menghindari terulangnya kejadian tersebut, pemerintah berupaya merumuskan kebijakan stabilitas harga pangan yang komprehensif dan dapat merespon beberapa perubahan lingkungan strategis seperti dinamika ekonomi global dan perubahan sistem manajemen pemerintahan agar krisis ekonomi dan krisis politik tidak terulang kembali.
Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian, khususnya Bidang Harga Pangan mempunyai andil yang besar baik secara langsung maupun tidak, dalam menyusun regulasi atau kebijakan pemerintah terkait stabilisasi harga pangan strategis. Kinerja Bidang Harga Pangan yang memberikan andil terhadap perumusan kebijakan stabilisasi tersebut antara lain kebijakan perberasan (Harga Pembelian Pemerintah/HPP), kebijakan stabilisasi harga kedelai (SHK), pemantauan harga pangan pokok pada hari-hari besar keagamaan dan nasional (HBKN), prognosa ketersediaan dan kebutuhan pangan strategis, serta kebijakan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Secara rinci beberapa peran Bidang Harga Pangan dalam perumusan kebijakan dan stabilisasi harga tersebut adalah sebagai berikut:

  1. 1.    Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah/Beras
Salah satu masalah klasik yang sering dialami petani padi adalah anjloknya harga jual gabah/beras pada saat panen raya, dan meningkatnya harga pada saat diluar panen. Kondisi tersebut menyebabkan petani menjadi rugi dan usahatani padi tidak menguntungkan. Selain itu, kenaikan harga beras dapat menimbulkan gejolak sosial mengingat beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah berupaya membuat regulasi/kebijakan perberasan agar gabah/beras petani dibeli dengan harga tertentu yang bisa memberikan keuntungan yang layak bagi petani. Selain itu, beras dijual ke masyarakat/konsumen diatur dengan harga tertentu sehingga masyarakat mampu mengakses dalam batas wajar. Kebijakan tersebut dikenal dengan istilah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) procurement price policy.
Penetapan HPP dilakukan dalam rangka meningkatkan pendapatan petani, pengembangan ekonomi pedesaan, stabilitas ekonomi nasional, peningkatan ketahanan pangan, dan dalam rangka pengadaan cadangan pangan. Selain itu juga untuk mendukung peningkatan produktivitas petani padi dan produksi beras nasional. HPP gabah yang ditetapkan pemerintah diharapkan menjadi “semacam harga minimum” (floor price) yang berfungsi sebagai referensi harga (price reference) bagi petani dan pedagang yang melakukan transaksi jual-beli gabah/beras.
Badan Ketahanan Pangan berperan besar dalam penyusunan kebijakan HPP gabah/beras. Kegiatan yang dilakukan BKP dalam proses penyusunan HPP gabah/beras antara lain melakukan kajian/analisis harga nasional dan internasional, analisis usaha tani, analisis usaha perdagangan dan pengolahan gabah/beras untuk memperoleh informasi besaran harga pembelian pemerintah (HPP) gabah/beras yang bisa melindungi petani dan konsumen. Selain itu juga, melakukan koordinasi dengan unit kerja terkait seperti Ditjen Tanaman Pangan, untuk membahas dan menentukan besaran HPP, serta terlibat langsung dalam penyusunan Instruksi Presiden tentang HPP.
Penetapan HPP gabah/beras pertama kali dilakukan pada tahun 2002 yang dituangkan melalui Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2002. Sampai tahun 2012, sudah 8 (delapan) kali ditetapkan kebijakan HPP gabah/beras untuk menyesuaikan situasi perberasan dalam negeri, terutama akibat perkembangan harga yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Selama periode tersebut, kenaikan HPP Gabah Kering Panen (GKP) berkisar 8-30 persen atau rata-rata 15,43 persen per tahun, kenaikan HPP Gabah Kering Giling (GKG) berkisar 4-27 persen atau rata-rata 13,82 persen per tahun, dan HPP beras berkisar 0-30 persen atau rata-rata 15,90 persen per tahun, seperti terlihat pada Tabel 1.

Beberapa hal yang mendasari perubahan kebijakan HPP antara lain penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM), seperti kejadian pada tanggal 1 Oktober 2005 terjadi kenikan solar sebesar 124 persen yang berdampak sangat besar terhadap kinerja sektor pertanian. Untuk mempertahankan profitabilitas usahatani padi agar usaha tani padi menguntungkan (minimal 30 persen), pemerintah mengeluarkan kebijakan perberasan baru melalui Inpres No. 13/2005 yang menaikan HPP gabah/beras.
Faktor lain yang menyebabkan perubahan HPP adalah harga gabah/beras di pasaran yang jauh lebih tinggi dibanding HPP, seperti pada akhir Tahun 2006 sampai awal 2007, harga gabah/beras sekitar 40-60 persen di atas HPP. Hal ini menyebabkan Bulog tidak dapat memenuhi target pengadaan gabah/beras pemerintah, sehingga pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan perberasan melalui Inpres No. 3 Tahun 2007. Selain itu, tingginya harga beras dunia yang terjadi karena berbagai masalah di negara-negara produsen, seperti bencana alam dan tingginya harga minyak juga menjadi salah satu pertimbangan perubahan kebijakan HPP.
Kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk subsidi pada April 2010 yang berdampak pada tingginya usahatani padi, juga menjadi salah satu alasan pemerintah kembali menaikkan HPP sebesar 10 persen dengan mengeluarkan Inpres No. 7 Tahun 2009 yang mulai diberlakukan pada Januari 2010. Diharapkan dengan penyesuaian HPP tersebut, pendapatan petani tidak menurun dan peningkatan produksi beras nasional tidak terganggu.
Selama Tahun 2002 – 2004, harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani masih berada di bawah HPP (antara 41,6 – 66,67 persen), namun sejak Tahun 2005 – 2012, harga GKP selalu berada di atas HPP, yaitu pada kisaran 4,4 – 36,20 persen di atas HPP, seperti terlihat pada Gambar 1. Dengan demikian kenaikan HPP GKP berdampak positif dalam meningkatkan harga aktual GKP petani dengan persentase yang jauh lebih tinggi, baik pada bulan-bulan panen raya (Maret-April) maupun tahunan. Hal ini menunjukkan kenaikan harga aktual GKP di tingkat petani berdampak langsung terhadap keuntungan usahatani padi.
Di tingkat konsumen, kebijakan perberasan dengan penetapan HPP juga dinilai cukup efektif mengendalikan harga beras dalam negeri. Pada Januari 2008, dunia internasional sedang mengalami krisis pangan yang menyebabkan harga komoditas pangan penting seperti beras, jagung, kedelai dan gandum melonjak tajam. Melonjaknya harga beras dunia pada periode tersebut tidak mempengaruhi harga beras dalam negeri.
Sebagai contoh pada Gambar 2, terlihat bahwa harga beras dalam negeri varietas IR-I di Pasar Beras Induk Cipinang (PIBC) cenderung stabil, walaupun harga beras Thai bergejolak tinggi sejak Maret 2008 pada kisaran 5 persen. Tingkat fluktuasi harga beras Thai juga lebih besar 5 persen dibandingkan harga beras dalam negeri. Hal ini menunjukkan kebijakan HPP gabah/beras dapat membantu stabilisasi harga di dalam negeri akibat perubahan harga gabah/beras internasional.

  1. 2.    Stabilisasi Harga Kedelai (SHK)
Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan yang sangat strategis karena merupakan bahan baku tahu dan tempe yang merupakan sumber lauk-pauk utama sebagian besar penduduk Indonesia. Bahkan pada tahun 60-an, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa tempe, karena tingginya konsumsi masyarakat pada komoditas tempe.
Kebutuhan kedelai dari tahun ke tahun semakin meningkat, namun Indonesia mengalami berbagai permasalahan seperti ketersediaan dalam negeri yang belum mencukupi, rata-rata baru mencapai sekitar 40 persen sehingga untuk memenuhi kekurangannya melalui impor. Selain itu, tata niaga kedelai yang didominasi pengusaha importir sering berdampak pada instabilitas harga kedelai di tingkat masyarakat, baik produsen dalam hal ini pengrajin tahu dan tempe, maupun konsumen atau masyarakat luas. Ketergantungan kedelai terhadap produk impor juga berpengaruh terhadap harga di dalam negeri akibat fluktuasi harga kedelai di pasar internasional. Kondisi tersebut menyebabkan kedelai berpengaruh terhadap perubahan inflasi.
Selama periode 2002-2012, harga kedelai dalam negeri baik kedelai lokal ataupun kedelai eks-impor terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun dengan perubahan kenaikan sekitar 11,46 persen per tahun seperti terlihat pada Gambar 3. Lonjakan kenaikan harga kedelai yang sangat signifikan terjadi pada tahun 2008, sebesar 58,41 persen dari Rp 5.389/kg menjadi Rp 8.536/kg, yang diakibatkan kenaikan harga kedelai di pasar internasional sebesar 48,16 persen.
Melihat berbagai permasalahan seperti di atas, pemerintah harus mengambil langkah-langkah penanganan terhadap stabilitas dan pengendalian harga kedelai agar ketersediaan dan fluktuasi harga kedelai tidak menganggu stabilitas masyarakat. Seperti kejadian tahun 2008, untuk menurunkan harga kedelai dalam negeri, pemerintah membebaskan kebijakan bea masuk kedelai impor pada tahun 2008 dan menggalakan petani untuk menanam kedelai dengan memberikan subsidi.
Mengingat kedelai merupakan komoditas strategis, dan banyaknya permasalahan dalam penanganannya, sejak tahun 2002 pemerintah telah berupaya untuk menjaga stabilitas harga kedelai. Pada tahun 2003 pemerintah telah menargetkan untuk tahun 2006 tidak akan melakukan impor kedelai terutama untuk kebutuhan industri, namun harus dipenuhi dari dalam negeri agar harga jual kedelai petani tidak jatuh. Untuk melindungi produsen lokal agar harga kedelai lebih murah, pada Tahun 2005 bea masuk kedelai impor ditetapkan 10 persen, jauh lebih rendah dari usulan sekitar 30 persen.
Pada Tahun 2008, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menekan gejolak harga kedelai impor, yaitu  bea masuk dibebaskan, PPh impor turun dari 2,5 persen ke 0,5 persen, dan pemberian subsidi bagi bahan baku kedelai Rp 1.000/kg selama 6 bulan. Selain itu, mengingat produksi nasional kedelai masih rendah, pemerintah menargetkan alokasi dana Rp 1 triliun bagi pengembangan kedelai nasional yang akan digunakan untuk peningkatan produksi nasional kedelai menjadi 1 juta ton, dan pemberian bibit paritas unggul pagi petani.
Sampai tahun 2012 , produksi kedelai dalam negeri masih belum mencukupi kebutuhan nasional, sehingga pemenuhanya dilakukan melalui impor. Namun demikian, kebijakan tersebut berdampak pada gejolak harga di tingkat masyarakat. Harga jual kedelai petani biasanya anjlok pada saat panen raya akibat harga kedelai impor yang jauh lebih murah. Sedangkan pada saat tidak panen, harga jual kedelai ke pengrajin sangat mahal sehingga berdampak pada naiknya harga tahu dan tempe yang ujungnya  berdampak pada terganggunya daya beli masyarakat.
Badan Ketahanan Pangan khususnya Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan berperan cukup besar dalam upaya pemerintah untuk mestabilkan harga kedelai, antara lain melalui penyediaan informasi perkembangan harga kedelai tingkat produsen, harga kedelai di tingkat konsumen, harga internasional, neraca ketersediaan dan kebutuhan kedelai, serta analisis usaha tani kedelai. Informasi tersebut merupakan bahan untuk mengambil kebijakan stabilisasi harga kedelai, seperti untuk merekomendasikan impor dan distribusi kedelai ke daerah-daerah yang kekurangan. Selain itu, peran BKP juga terlihat melalui pertemuan dan koordinasi dengan unit kerja terkait untuk memantau pergerakan harga serta ketersediaan dan kebutuhan kedelai.
Pada Tahun 2013, Pemerintah mengeluarkan kebijakan Program Stabilisasi Harga Kedelai (Program SHK) yang bertujuan untuk stabilisasi harga kedelai di tingkat petani dan di tingkat pengrajin secara bersamaan. Hal ini dilakukan mengingat sejak bulan Agustus 2012, harga kedelai dalam negeri melonjak tinggi dan sulit dikendalikan sehingga menimbulkan gejolak dimasyarakat. Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian terlibat langsung dalam penyusunan kebijakan Program SHK, dari mulai proses penyusunan peraturan, hingga mekanisme pelaksanaan kebijakan, termasuk di dalamnya dalam penentuan harga beli kedelai di tingkat petani.
Selain menyediakan informasi, BKP juga melaksanakan berbagai rapat koordinasi teknis mengenai Kebijakan Harga Pembelian dan Penjualan Pemerintah Komoditas Kedelai, seperti yang dilaksanakan pada tanggal 20 September 2012 di Bogor yang dihadiri oleh wakil-wakil dari Kedeputian II Bidang Koordinasi Pertanian dan Kelautan Kemenko Bidang Perekonomian; Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan; Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan, Kemendag; Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementan; Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan dan Pertanian, Kementan.
Kebijakan SHK ditetapkan pada tanggal 28 Mei 2013 melalui Peraturan Menteri Perdagangan No.23/2013 tentang program Stabilisasi Harga Kedelai yang merupakan implementasi dari Perpres No.32/2013 tentang Penugasan Kepada Perum Bulog untuk Pengamanan Harga dan Penyaluran Kedelai. Melalui program stabilisasi harga kedelai, pemerintah berupaya mengatur tata niaga kedelai melalui pembelian kedelai petani dengan harga tertentu sehingga petani mendapat keuntungan yang layak, dan menjual kedelai kepada pengrajin tahu/tempe dengan harga tertentu sehingga harga jual produk terjangkau masyarakat. Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan ini, pemerintah juga telah mengeluarkan peraturan tentang Penetapan Harga Pembelian/Penjualan Kedelai Petani  melalui Permendag No.25/2013 dimana Badan Ketahanan Pangan juga terlibat dalam penyusunannya.
Di dalam Program SHK, Harga Pembelian Kedelai Petani yang selanjutnya disebut HBP Kedelai  adalah harga acuan pembelian kedelai di tingkat petani yang ditetapkan sebesar Rp 7.000/kg. HBP kedelai tersebut berlaku untuk masa panen raya triwulan III periode 1 Juli sampai dengan 30 September 2013. Sementara harga penjualan kedelai di tingkat pengrajin tahu/tempe disebut HJP kedelai berlaku 1 bulan, ditetapkan sebesar Rp 7.450/kg berlaku untuk bulan Juli 2013, dan Rp.7.700/kg untuk bulan Agustus 2013, dan akan ditinjau kembali untuk bulan selanjutnya. Apabila masa berlaku telah lewat, tetapi penetapan HJP yang baru belum ditetapkan, maka  HJP kedelai yang berlaku masih sama dengan harga sebelumnya. Untuk menentukan besaran HBP dan HJP, Badan Ketahanan Pangan sebagai salah satu anggota Tim Program SHK ikut terlibat langsung dalam rapat atau forum Tim SHK yang dikoordinisi oleh Kementerian Perdagangan.

  1. 3.    Prognosa Kebutuhan dan Ketersediaan Pangan
Upaya penyediaan pangan memerlukan perencanaan yang matang dimulai dari perencanaan produksi, pengolahan, sampai dengan distribusinya. Upaya tersebut memerlukan waktu dan proses yang panjang serta melibatkan banyak pihak. Berkaitan dengan tugas pokok Badan Ketahanan Pangan (BKP) sebagai salah satu instansi yang menangani urusan/bidang ketahanan pangan, maka BKP mempunyai tanggung jawab dalam mengkoordinasikan penyusunan prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan sejak awal tahun dengan berbagai pihak terkait, terutama dengan Direktorat Teknis lingkup Kementerian Pertanian. Penyusunan prognosa tersebut harus dilakukan secara tepat dan akurat agar perencanaan dan kebijakan yang diambil juga tepat sasaran dan merupakan kebijakan Kementerian Pertanian.
Prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan sudah dimulai BKP sejak tahun 2002. Prognosa tersebut merupakan informasi tentang kondisi kebutuhan dan ketersediaan pangan yang disusun dalam format bulanan. Pada awalnya penyusunan prognosa bertujuan untuk sosialisasi dan informasi perkiraan kondisi ketersediaan dan kebutuhan pangan menjelang Hari-hari Besar Keagamaan dan Nasional (HBKN). Bagi masyarakat, informasi tersebut diharapkan dapat dijadikan acuan untuk mengantisipasi, mencari alternatif bahan pangan dan mengatur tingkat konsumsi dalam mengatasi kebutuhan pangan yang relatif meningkat pada periode menjelang HBKN. Bagi pemerintah, informasi tersebut diperlukan untuk mengambil langkah-langkah antisipasi menjaga stabilitas pasokan bahan pangan pokok dalam menghadapi HBKN agar volumenya mencukupi dengan harga yang tidak melonjak terlalu tinggi. Dengan berjalannya waktu, penyusunan prognosa mempunyai tujuan yang lebih luas lagi yaitu prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan dijadikan acuan dalam menentukan sasaran produksi, penyediaan pasokan impor, dan perumusan langkah-langkah antisipasi pemenuhan kebutuhan selama 1 (satu) tahun.
Selama tahun 2005-2010, perhitungan prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan dilakukan pada 9 komoditas strategis yang pada hari-hari besar keagamaan mengalami gejolak harga dan mengalami peningkatan kebutuhan konsumen, yaitu beras, kacang tanah, gula pasir, minyak goreng, cabai merah, bawang merah, daging sapi, daging ayam dan telur ayam. Pada tahun 2011, meningkat menjadi 10 komoditas dengan penambahan komoditas jagung, dan mulai tahun 2012 menjadi 12 komoditas dengan penambahan kedelai dan cabai (cabai rawit dan cabai besar), seperti terlihat pada Tabel ....
Dalam beberapa tahun terakhir ini, prognosa kebutuhan dan ketersediaan bahan pangan sudah menjadi bahan utama dalam rapat koordinasi kebijakan stabilisasi harga pangan, baik dalam rapat teknis maupun rapat terbatas di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Selain itu, prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan juga menjadi acuan dalam pemberian rekomendasi impor oleh Kementerian Pertanian yang digunakan untuk memperoleh surat penerbitan impor (SPI) oleh Kementerian Perdagangan.
Penyusunan prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan pokok minimal disusun berdasarkan kebutuhan dan angka sasaran produksi (prognosa I). Selanjutnya prognosa tersebut akan dievaluasi dan disempurnakan sesuai dengan perubahan angka prognosa produksi (BPS), angka realisasi produksi (Ditjen teknis), ekspor dan impor. Beberapa tahapan penyusunan prognosa, yaitu: (a) Revisi I: Prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan yang didasarkan pada prognosa produksi BPS (Maret-April); (b) Revisi II: Prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan yang didasarkan pada ARAM I BPS (Juli-Agustus); dan (c) Revisi III: Prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan yang didasarkan pada ARAM II BPS (November).

  1. 4.    Pemantauan Harga Hari-Hari Besar Keagamaan dan Nasional/HBKN
Indonesia adalah Negara yang sangat beragam, baik dari aspek budaya, sosial dan agama, serta pendirian bangsa yang penuh dengan latar belakang historis. Hal tersebut menyebabkan banyaknya hari-hari besar keagamaan dan nasional (HBKN) seperti Puasa, Idul Fithri, Idul Adha, Natal dan lainnya. Kultur budaya sebagian besar masyarakat Indonesia dalam menyambut dan merayakan HBKN umumnya membutuhkan bahan pangan dalam jumlah yang lebih banyak dibanding hari biasa. Kondisi ini menyebabkan tidak seimbangnya permintaan masyarakat dengan ketersediaan yang ada dalam periode tertentu. Hal tersebut mengakibatkan fluktuasi harga yang cukup tinggi pada hampir semua komoditas pangan.
Sejak tahun 2002-2012, secara umum kondisi harga pangan nasional cenderung berfluktuasi dan naik setiap tahunnya. Fluktuasi harga disebabkan adanya kenaikan permintaan menjelang HBKN seperti Idul Fitri, Idul Adha dan Natal, serta dampak dari kenaikan harga di pasar internasional. Kebijakan pemerintah seperti kenaikan harga BBM juga berpengaruh terhadap instabilitas harga. Sebagai contoh, pada pertengah tahun 2012 terjadi kenaikan harga BBM pada saat menjelang bulan puasa. Hal ini berdampak pada peningkatan harga bahan pangan pada hampir semua komoditas, terutama cabai, bawang merah, dan daging sapi yang membuat gejolak di masyarakat.
Pemerintah sudah mengantisipasi gejolak harga pada saat dan menjelang HBKN antara lain melalui pemantauan harga di pasar-pasar, baik pasar modern maupun tradisional untuk mengetahui kondisi riil serta upaya antisipasi kenaikan harga pangan. Badan Ketahanan Pangan sebagai bagian dari pemerintah juga ikut terlibat dalam kegiatan tersebut, antara lain melakukan Kunjungan Kerja lapangan baik Menteri Pertanian maupun Kepala Badan. Dari hasil kunjungan kerja lapangan akan diperoleh data dan informasi yang riil di tingkat masyarakat sehingga bisa diambil langkah-langkah kebijakan untuk mengantisipasi atau mengendalikan gejolak harga.

Sumber : http://bkp.deptan.go.id

BERSIAP MENGHADAPI KRISIS PANGAN DUNIA

FAO mengakui krisis pangan telah melanda dunia saat ini. Masalah perubahan iklim, bencana alam, dan semakin meningkatnya permintaan bahan pangan sementara stok Negara-negara produsen dan pengekspor bahan pengan semakin sedikit disinyalir menjadi penyebab dunia mengalami krisis pangan. Pemenuhan kebutuhan pangan dunia hingga saat ini masih bisa diusahakan, namun FAO mengatakan takkan ada lagi bahan pangan murah seperti saat sebelum krisis pangan terjadi.Pernyataan dari FAO ini didukung oleh kenyataan saat ini dimana beberapa negara-negara pengekspor bahan pangan tengah mengalami krisis dalam negeri sehingga menghambat peningkatan produksi pangan. Seperti Negara Vietnam yang kini tengah memulihkan keadaannya pasca salah satu daerah lumbung padinya dilanda bencana angin yang cukup parah. Lain pula Thailand, meski negerinya aman-aman saja namun mereka lebih memilih untuk mengamankan persediaan bahan pangan di dalam negerinya dan tidak menambah kapasitas produksi serta tidak pula menambah jumlah ekspor bahan pangan. Pada akhirnya, melihat kondisi kritis dunia ini, bank dunia mengalokasikan dana untuk mengatasi krisis pangan dunia ini dengan hibah dalam peningkatan produksi bahan pangan. Dunia bergejolak akibat krisis bahan pangan. Indonesia yang kini menyandang predikat sebagai salah satu negara pengimpor beras besar di dunia, bagaimana nasib Indonesia selanjutnya? Tidak ada jalan lain selain bersiap menghadapi krisis pangan dunia.
Masyarakat Indonesia akan semakin menderita, krisis minyak dunia yang menyebabkan harga minyak mahal sudah menekan hidup masyarakat, apalagi jika ditambah dengan krisis pangan dunia saat ini yang mengakibatkan bahan pangan mahal dan langka. Hidup yang makin sulit ini seharusnya menjadi pemicu rasa kebersamaan antara masyarakat dan pemerintah. Jika masyarakat kini berjuang untuk bertahan hidup, maka sudah menjadi kewajiban pemerintah sebagai pemimpin negara untuk lebih berjuang dan berkorban untuk rakyatnya.  Bukannya hanya mengatur negara namun tidak merasakan secara langsung akibat yang sesungguhnya di lapangan. Saat-saat menghadapi krisis kehidupan, rasa senasib sepenanggungan seharusnya ada dalam hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang akan melahirkan rasa kebersamaan yang kuat. Rasa kebersamaan yang kuat akan dapat menyelamatkan negara ini dari kehancuran yang lebih parah. Namun jika pemerintah, para wakil rakyat, para elit negara ini tidak menunjukkan rasa senasib sepenanggungan dengan rakyat atau merasakan penderitaan rakyat maka rasa kebersamaan untuk menyelamatkan negara tidak timbul. Karena tidak ada komunikasi yang efektif antara pemerintah dengan masyarakat. Pada akhirnya yang terjadi, pemerintah lebih pada sikap otoriter dan masyarakat selalu menentang karena tertekan dan terancam hidupnya. Pemerintah yang tidak memperhatikan aspirasi politik rakyatnya dalam mengambil kebijakan inilah yang akan menimbulkan disintregrasi bangsa.
Krisis kebutuhan pokok masyarakat dunia termasuk Indonesia, yaitu krisis bahan pangan dan krisis minyak seharusnya dapat disikapi dengan arif dan bijaksana oleh pemerintah dan masyarakat dalam merumuskan langkah-langkah solusi untuk mengahadapi kenyataan ini. Ada beberapa langkah solusi yang dapat menjadi aspirasi masyarakat dan dapat ditanggapi oleh pemerintah. Beberapa langkah solusi dalam jangka panjang untuk menghadapi krisis minyak dan krisis pangan antara lain :
1. Revitalisasi Program Keluarga Berencana (KB)
Penggerakan kembali Program KB ini untuk mengendalikan jumlah penduduk yang semakin bertambah banyak. Krisis pangan dan krisis minyak dunia  terjadi akibat terlalu banyaknya kebutuhan konsumsi masyarakat dunia termasuk Indonesia. Sementara konsumsi bertambah besar, stok barang pemenuhan kebutuhan hanya terbatas. Dengan pengendalian jumlah penduduk ini diharapkan dapat menyeimbangkan kembali antara persediaan dan kebutuhan masyarakat.
2. Revitalisasi Pengendalian Bidang Distribusi Bahan Pangan dan Minyak
Fungsi distribusi bahan pangan dan minyak dunia seharusnya lebih dipentingkan diatas fungsi produksi dan fungsi konsumsi. Perbaikan fungsi distribusi saat ini yang lebih menggantungkan pada produksi dan konsumsi harus dirubah. Kini konsumsi harus dikendalikan dan produksi dilakukan sesuai dengan kebutuhan yang ada. Produksi bukan lagi dilakukan untuk meraih keuntungan setinggi-tingginya namun harus dibatasi agar kondisi alam seimbang. Konsumsi pun demikian, harus ada peraturan pembatasan konsumsi yang disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Sehingga fungsi distribusi yang dilakukan  tepat sasaran dan terhindar dari manipulasi maupun korupsi yang sangat merugikan.
3. Peninjauan Kembali Pola Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan Penggalakan
Pola Hidup Sederhana dalam Masyarakat.
Aset-aset sumber daya alam (SDA) yang menyangkut hajat hidup seluruh rakyat seharusnya dikelola negara sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat. Tetapi yang terjadi di Negara Indonesia saat ini, investor dan perusahaan asing yang mengelola hamper seluruh asset SDA negara. Kondisi ini sangat memprihatinkan, akibat yang ditimbulkannya pun jangka panjang seperti yang tengah terjadi sekarang ini bahan pangan dan minyak mengalami kelangkaan dan mahal. Oleh karenanya, pengelolaan SDA yang dijalankan saat ini perlu ditinjau kembali dan sangat mendesak untuk segera dikembalikan pada fungsi yang sesungguhnya. Sebagai ilustrasi, telah umum diketahui  krisis minyak yang terjadi di Indonesia akibat pengelolaan sumber-sumber minyak Indonesia diserahkan pada asing/swasta sehingga harga minyak yang ditetapkan mengikuti harga pasaran dunia. Akibatnya tidak ada perlindungan stok dalam negeri. Pemimpin negara ini dan para wakil rakyat telah menyetujui perjanjian pengelolaan dengan asing tersebut dalam jangka waktu yang sangat lama. Maka dapat diprediksi, meski harga minyak dunia mungkin akan stabil kembali, namun belum tentu seiring dengan itu krisis minyak di Indonesia akan berakhir pula. Sebutan Indonesia sebagai Negara miskin ditengah hamparan kekayaan yang melimpah perlu segera dihapuskan. Menjelang pemilu 2009, perlu ada perbaikan moral, kualitas, dan integritas kinerja para wakil rakyat agar dapat selalu menjaga amanah rakyat dan memenuhi hak-hak rakyat yang sudah seharusnya. Selain itu, perlu dibuatkan peraturan-peraturan yang dapat membiasakan rakyat berpola hidup sederhana, akrena krisis pangan dan krisis minyak ini dimungkinkan akan berlangsung lama mengingat usia dunia yang semakin tua.
Semoga para pengemban amanah rakyat baik yang duduk sebagai eksekutif, legislatif, dan yudikatif negara selalu mendengar hati nurani rakyat kecil yang terlindas oleh zaman globalisasi kompetisi yang disertai pula adanya krisis pangan dan krisis minyak dunia.

 Sumber : http://kustejo.wordpress.com

Krisis Pangan Dan Ekonomi Tingkatkan Jumlah Penduduk Kelaparan

Krisis pangan di negara-negara miskin ditambah dengan krisis ekonomi global menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk yang kelaparan, dengan lebih dari satu miliar orang kekurangan pangan tahun ini, kata badan-badan pangan PBB, Rabu.
"Tidak ada negara yang kebal dan, sebagaimana biasa, negara-negara paling miskin -- dan orang paling miskinlah-- yang paling menderita," kata kepala Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Jacqyes Diouf dan kepala Program Pangan Dunia (WFP) Josette Sheeran dalam laporan tahunan tahun ini mengenai keamanan pangan global.
"Bahkan sebelum krisis pangan dan krisis ekonomi, jumlah orang yang kelaparan meningkat perlahan tetapi stabil," kata laporan yang disusun bersama oleh FAO dan WFP.

"Akan tetapi serbuan krisis-krisis ini, jumlah orang kelaparan di dunia meningkat secara tajam," kata badan-badan yang berpusat di Roma itu.

FAO memperkirakan 1,02 miliar orang kurang makan di seluruh dunia pada 2009," katanya. "Ini merupakan lebih banyak orang yang kelaparan sejak 1970.

Jumlah orang kelaparan mencapai puncaknya satu miliar untuk pertama kali sejak 1970, tetapi proporsi lebih kecil dari jumlah penduduk dunia, yang sekarang hampir tujuh miliar jiwa dibandingkan dengan kurang empat miliar empat dasawarsa lalu.

Penduduk terbesar yang kurang makan adalah di wilayah Asia-Pasifik yaitu 642 juta orang disusul Sub-Sahara Afrika 265 juta, Amerika Latin 53 juta orang. Sekitar 15 juta orang mengalami kelaparan di dunia maju.

Sejak 2007, harga pangan yang tinggi memicu kerusuhan di lebih dari 60 negara.

Laporan itu dikeluarkan menjelang Hari Pangan Dunia, Jumat, mengakhiri seminggu perundingan di antara sekitar 300 ahli yang dipusatkan pada penyediaan pangan bagi dunia tahun 2050, saat PBB memperkirakan jumlah penduduk 9,1 miliar jiwa.

Sasaran KTT Pangan Dunia itu yang bertujuan mengurangi jumlah orang yang kurang pangan separuhnya menjadi tidak lebih dari 420 juta pada 2015 tidak akan tercapai jika kecenderungan yang ada sebelum krisis itu terus terjadi," kata laporan itu memperingatkan.

Direktur Jendral FAO Diouf akan mengajukan sebuah "peti perkakas" untuk membantu negara-negara memerangi kelaparan, Kamis.

Krisis keuangan menyebabkan menurunnya bantuan asing dan investasi di negara-negara miskin serta pengiriman uang dari keluarga yang bekerja di negara-negara kaya, tambah laporan itu.

"Kehilangan pendapatan ini adalah semakin bertambah akibat harga pangan yang masih relatif tinggi di pasar-pasar lokal banyak negara miskin," kata FAO.

Badan-badan PBB itu mendesak dilakukan investasi dalam jaringan pertanian dan pengamanan" walaupun kesulitan keuangan dihadapi pemerintah-pemerintah di seluruh dunia."

Pada Jumat, lima duta besar muhibah baru akan diangkat yaitu peraih medali emas Olimpiade dari AS Carl Lewis, perancang mode Prancis Pierre Gardin, bintang sepakbola Patrick Vieira, dan penyanyi-penyanyi serta penggubah lagu Anggun dan Fanny Lu dari Prancis dan Kolombia.

Sumber : http://erabaru.net

Sedia Pangan Sebelum Krisis

Kran impor yang dibuka lebar telah menggerus produksi pangan dalam negeri. Petani sebagai salah satu produsen pangan telah lama tergantung dengan pasokan sarana produksi impor. Misalnya bibit unggul, pupuk kimia, pestisida, dan berbagai perangkat pertanian moderen. Akibatnya, sistem pertanian di Indonesia boros input.
Sedari revolusi hijau sampai sekarang, petani kenyang dicekoki doktrin pertanian moderen yang menempatkan mereka sebagai konsumen semata. Metode pertanian berkelanjutan yang memosisikan petani sebagai ahli kerap dipandang sebelah mata, meski kenyataannya petani telah berkontribusi dalam menjaga keberagaman plasmanutfah dan keseimbangan ekosistem.
Coba bayangkan, jika suatu ketika sumber bahan pangan di dunia menjadi sangat terbatas akibat alih fungsi lahan dan penurunan keanekaragaman hayati, apakah uang masih bisa berfungsi sebagai alat tukar? Tentu sumber pangan akan lebih berharga daripada mata uang manapun.
Meski demikian, fakta saat ini, seseorang dianggap kaya ataupun miskin ditentukan oleh faktor pemilikan uang dan akumulasi modal. Sistem ekonomi moneter menjadi rejim tata niaga dunia dan perbankan sebagai infrastruktur pendukungnya. Sistem ekonomi uang berbasis pasar bebas tersebut menjadi alat korporasi dan konglomerasi raksasa dunia untuk mempengaruhi, bahkan mengambil alih kebijakan politik-ekonomi di berbagai negara berkembang. Tak terkecuali Indonesia.
Narasi tentang kekuatan ekonomi global yang mencengkram masa depan pangan di Indonesia tertuang dalam sebuah buku pengalaman gerakan advokasi petani. Buku “Bersemi dalam Tekanan Global: Kriminalisasi Petani, Inisiatif Benih Lokal, dan Uji Materi UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (2013)”, mencoba merekam upaya jaringan advokasi petani pemulia tanaman meretas keadilan di Mahkamah Konstitusi (MK). Sebuah upaya petani pemulia tanaman untuk mewujudkan kedaulatan atas benih melalui jalur legal.
Sedari 2004 sampai 2010, belasan petani pemulia tanaman jagung di Kediri Jawa Timur mengalami kriminalisasi. Mereka dituduh oleh perusahaan benih setempat telah melakukan pemalsuan merek dagang. Meski tak terbukti, petani tetap dijerat dengan pasal-pasal UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (UU SBT). Undang-undang yang seharusnya memberikan perlindungan kepada petani, nyatanya digunakan oleh kepentingan industri untuk memenjarakan mereka.
Tak hanya petani jagung di Kediri, pada prinsipnya, wilayah pertanian yang terdapat perusahaan benih berpotensi mengkriminalkan petani. Hal ini tentu tak dapat dibiarkan. Petani memiliki hak membudidayakan tanaman yang mereka warisi secara turun-temurun. Sebuah tradisi agraris yang mereka jalani sejak lama, mendahului konsep negara moderen dan prinsip-prinsip hak atas kekayaan intelektual.
Benih dan plasmanutfah adalah sumberdaya publik yang mesti dikelola pemerintah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, sesuai amanat konstitusi. Praktiknya, korporasi raksasa dunia yang berwujud perusahaan-perusahaan benih, telah mengambil alih barang milik publik itu untuk diprivatisasi dan dikomersilkan. Korporasi mengambil hak petani yang telah dimiliki sejak lama, kemudian memaksa petani untuk terus tergantung dengan membeli produk-produk pabrikan.
Pada kasus tanaman padi, benih hibrida yang digadang-gadang pemerintah dan perusahaan mampu menjawab kebutuhan pangan dalam negeri, ternyata hanya pepesan kosong. Kualitas benih-benih hibrida nyatanya tak setangguh sewaktu didemonstrasikan. Sekali terserang hama, tanaman langsung gagal panen. Petani jelas banyak dirugikan, karena tak mendapatkan ganti rugi atau jaminan penghasilan saat gagal panen.
Sebenarnya, petani mulai melakukan seleksi benih mereka sendiri demi menemukan varietas idaman yang sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah. Inisiatif benih lokal menjadi titik tolak petani untuk mewujudkan kedaulatan atas benih. Tak lagi tergantung benih impor ataupun benih hibrida yang boros pemakaian pupuk kimia dan pestisida. Selain tak sesuai prinsip-prinsip pertanian ekologis, tanaman yang terpapar zat kimia akan menimbulkan krisis ekologi dan mengancam kesehatan manusia.
Saat benih-benih varietas lokal mulai digunakan di berbagai daerah, perlahan-lahan petani mulai merasakan hasilnya. Selain bisa menentukan usia varietas yang mereka muliakan sendiri, benih kreasi petani mudah beradaptasi dengan perubahan iklim dan relatif tahan serangan hama.
Agaknya upaya petani kecil berlahan sempit di Indonesia untuk mewujudkan kedaulatan atas benih masih panjang. Selama beberapa pasal UU SBT belum dinyatakan tak berkekuatan hukum oleh MK, terutama pasal 5, 6, 9, 12, dan 60, maka aktifitas petani memuliakan tanaman masih terancam jerat tindak pidana.
Bahkan, kontrol atas benih yang dilakukan pemerintah berdampak pada diskriminasi terhadap petani, karena hanya perusahaan dan peneliti-peneliti profesional saja yang dianggap mampu melakukan proses pemuliaan tanaman. Petani terpaksa membeli benih yang belum tentu sesuai dengan kondisi lahan mereka dengan harga yang jauh lebih mahal. Di sisi lain, perusahaan terus mendapatkan keuntungan karena mendapatkan hak paten.
Tarik-menarik hak pemuliaan varietas antara petani versus perusahaan benih ini akan segera usai jika MK memutuskan mengabulkan permohonan uji materi UU SBT jaringan advokasi petani pemulia tanaman. Pemohon meliputi 10 lembaga swadaya masyarakat dan dua orang petani pemulia tanaman. Jika mengikuti proses persidangan di MK (hal. 95), para pembaca mungkin bisa memperoleh gambaran sederhana tentang keberpihakan negara pada wong cilik.
Persoalan pangan dan perlindungan terhadap nasib petani ke depan nampaknya menjadi agenda serius bagi pemerintah. Di dalam rancangan undang-undang perlindungan dan pemberdayaan petani dianggap tak menyelesaikan akar masalah agraria di Indonesia. RU Tutup U tersebut dianggap tidak jelas mendefinisikan petani, simpang-siur dalam menentukan batasan kawasan lahan pertanian, serta tak memungkasi persoalan redistribusi lahan. Saat ini perjuangan kedaulatan atas benih menjadi langkah awal. Selanjutnya akses petani terhadap lahan harus menjadi prioritas, agar terdapat jaminan ketersediaan pangan di masa krisis.
 
 
Sumber : http://haideakiri.wordpress.com

Minggu, 20 Oktober 2013

Pentingnya diversifikasi pangan di Indonesia

Tingginya konsumsi beras di Indonesia menyebabkan diterapkannya kebijakan impor yang menyiksa petani dan mengancam kesehatan masyarakat. Oleh sebab itu diperlukan diversifikasi pangan untuk mengatasi tingginya konsumsi beras.
Konsumsi beras Indonesia menduduki peringkat satu dunia. Setiap tahunnya, konsumsi beras per kapita oleh masyarakat Indonesia mencapai 139 kilogram per kapita. Jumlah ini sangat jauh bila dibandingkan dengan negara Asia lainnya seperti Jepang dan Malaysia yang hanya 60 kg dan 80 kg per kapita per tahun. Dalam kasus yang lebih ekstrem, pada tahun 2008 provinsi Sulawesi Tenggara memiliki tingkat konsumsi sebesar 195,5 kilogram per kapita.
Tingginya konsumsi beras mengakibatkan permintaan beras di dalam negeri tinggi dan terkadang tidak seimbang dengan ketersediaan. Setidaknya terdapat dua alasan yakni tingginya impor yang merugikan petani dan aspek kesehatan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2008 Indonesia memproduksi padi sebesar 60,33 juta ton gabah kering giling (GKG).  Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2007 sebesar  3,17 juta ton atau 5,54 persen.
Walaupun produksi beras Indonesia tinggi, hal ini juga diimbangi dengan tingginya konsumsi yang akhirnya mengarahkan kebijakan pemerintah untuk melakukan impor beras. Kebijakan impor dipilih pemerintah untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri dan menekan harga agar tetap terjangkau konsumen.  Hal ini jelas merugikan petani.
Data yang dikumpulkan oleh Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) selama tahun 1996 – 2003, Indonesia mengimpor beras rata rata 2,8 juta ton per tahun. Pada 2007 impor beras Indonesia mencapai 1,5 juta ton dan baru pada tahun 2008 Indonesia bebas dari impor beras dengan klaim pemerintah sebagai tahun swasembada beras.
Dari aspek kesehatan, konsumsi beras dalam jumlah tinggi tidaklah baik bagi kesehatan. Dr.Ir.Posman Sibuea dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan (Lemlit) Tekonologi Pangan Universitas Methodist Medan menuturkan bahwa pola makan yang monoton seperti mengkonsumsi nasi kuranglah baik karena asupan gizi yang diterima oleh tubuh menjadi lebih sedikit.
Witoro selaku Sekretaris Jendral KRKP menuturkan bahwa terdapat banyak sekali alternatif pilihan makanan pokok pengganti beras yang mengandung karbohidrat. karbohidrat dapat ditemui dalam berbagai jenis makanan lain seperti ubi kayu (singkong), ubi, ketela, jagung, sagu, gandum, kentang, jagung, talas dan masih banyak lagi. Sayangnya, di dalam masyarakat Indonesia muncul resistensi bahwa selain beras adalah makanan yang terkesan kurang bergengsi.
“Indonesia memiliki banyak varian konsumsi pokok seperti singkong, masalahnya orang masih berpikir bahwa singkong adalah ciri makanan menengah ke bawah. Paradigma ini harus diubah sehingga masyarakat mau mengkonsumsi selain beras,” tandasnya.
Salah satu daerah di Indonesia yang sedang mengupayakan pengembangan pangan alternatif adalah Nusa Tenggara Timur. Upaya yang dilakukan adalah melalui program “desa mandiri pangan menuju desa sejahtera”. Program ini dilakukan untuk mengatasi masalah kerawanan pangan karena ketergantungan yang tinggi pada beras. Pelaksanaan program dimulai dari pemerintah yang berkomitmen menyelesaikan kelaparan dengan pangan lokal. Setiap hari kamis dan jumat, pemerintah NTT mengkonsumsi berbagai pangan lokal seperti jagung dan sagu di lingkungan pemerintahan.
 
Sumber : http://desasejahtera.org

Rabu, 16 Oktober 2013

Kenaikan Harga Pangan Picu Banyak Masalah Kesehatan

Melonjaknya harga pangan beberapa bulan terakhir memaksa masyarakat mengurangi konsumsi. Tak terpenuhinya kebutuhan gizi masyarakat secara berkepanjangan bisa berdampak munculnya berbagai persoalan kesehatan, produktivitas, dan kualitas manusia Indonesia ke depan.

”Anak balita, ibu hamil, dan orang lanjut usia (lansia) adalah kelompok yang paling rentan terhadap dampak kekurangan gizi,” kata Ketua Yayasan Gerakan Masyarakat Sadar Gizi Tirta Prawita Sari, di Jakarta, Rabu (28/8).

Lonjakan harga terjadi pada bahan pangan sumber protein, seperti daging, kedelai, telur, ataupun ikan laut yang harganya bergantung pada cuaca. Sebagian sumber protein itu tak memiliki substitusi yang mempunyai nilai gizi setara. Di sisi lain, banyak warga tak tahu pengganti sumber protein mahal tersebut.

Menurut Tirta yang juga dosen di Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta, anak balita memiliki kebutuhan gizi yang jumlah dan jenisnya tidak bisa ditawar. Jika asupan gizinya kurang, pertumbuhan anak balita terganggu. Anak menjadi pendek, kecerdasannya rendah, dan rentan menderita penyakit degeneratif saat dewasa.

Pada ibu hamil, kekurangan gizi akan mengganggu pertumbuhan janin, meningkatkan risiko gangguan saraf pada bayi, bayi lahir dengan berat badan kurang dari 2,5 kg, hingga risiko persalinan. ”Dalam kondisi harga pangan normal saja banyak ibu hamil kekurangan zat besi dan asam folat,” katanya. Kondisi ini dikhawatirkan akan meningkatkan jumlah kematian ibu saat melahirkan dan gangguan pada bayi.

Adapun orang lansia adalah kelompok yang paling sering diabaikan hak-haknya dalam pemenuhan gizi. Seiring bertambahnya usia, selera makan orang lansia umumnya menurun. Sebagian orang lansia mengalami demensia yang membuat mereka tak ingat apakah sudah makan atau belum.

”Gizi berkaitan dengan kesejahteraan dan kesejahteraan terkait kondisi ekonomi,” ujar Tirta. Karena itu, pemerintah perlu menjaga agar ketahanan pangan masyarakat tak terganggu meski kondisi ekonomi tak stabil.

Secara terpisah, Ketua Bidang Temu Ilmiah dan Pengembangan Organisasi Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan yang juga Guru Besar Keamanan Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor Ahmad Sulaeman mengatakan, impor bukan solusi atas berbagai kekurangan bahan pangan. ”Penganekaragaman pangan perlu dilaksanakan secara konsisten dan lebih gencar,” katanya.

Kenaikan harga kedelai, ujarnya, lebih mengkhawatirkan dibandingkan kenaikan harga daging. Sebagian besar masyarakat menengah bawah, khususnya di Jawa, menggantungkan sumber protein pada tahu dan tempe.

Pemerintah perlu lebih mengampanyekan pemanfaatan sumber protein lain, seperti ikan lele, patin, belut, badar, bilis, hingga belalang. Indonesia punya banyak sungai, empang, atau rawa yang bisa dimanfaatkan untuk budidaya ikan air tawar.

sumber : www.health.kompas.com

Pangan Fungsional untuk Kesehatan yang Optimal

ORANG-orang yang bijaksana sering mengatakan bahwa "kesehatan adalah harta yang paling berharga dalam hidup ini". Sehat dan bugar adalah dua kunci yang sebaiknya dimiliki oleh setiap orang agar hidup ini menjadi lebih bermakna. Untuk mewujudkannya antara lain dapat kita lakukan melalui pengaturan makanan.

DALAM kehidupan modern ini, filosofi makan telah mengalami pergeseran, di mana makan bukanlah sekadar untuk kenyang, tetapi yang lebih utama adalah untuk mencapai tingkat kesehatan dan kebugaran yang optimal. Fungsi pangan yang utama bagi manusia adalah untuk memenuhi kebutuhan zat-zat gizi tubuh, sesuai dengan jenis kelamin, usia, aktivitas fisik, dan bobot tubuh. Fungsi pangan yang demikian dikenal dengan istilah fungsi primer (primary function).

Selain memiliki fungsi primer, bahan pangan sebaiknya juga memenuhi fungsi sekunder (secondary function), yaitu memiliki penampakan dan cita rasa yang baik. Sebab, bagaimanapun tingginya kandungan gizi suatu bahan pangan akan ditolak oleh konsumen bila penampakan dan cita rasanya tidak menarik dan memenuhi selera konsumennya. Itulah sebabnya kemasan dan cita rasa menjadi faktor penting dalam menentukan apakah suatu bahan pangan akan diterima atau tidak oleh masyarakat konsumen.

Seiring dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, maka tuntutan konsumen terhadap bahan pangan juga kian bergeser. Bahan pangan yang kini mulai banyak diminati konsumen bukan saja yang mempunyai komposisi gizi yang baik serta penampakan dan cita rasa yang menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh. Fungsi yang demikian dikenal sebagai fungsi tertier (tertiary function). Saat ini banyak dipopulerkan bahan pangan yang mempunyai fungsi fisiologis tertentu di dalam tubuh, misalnya untuk menurunkan tekanan darah, menurunkan kadar kolesterol, menurunkan kadar gula darah, meningkatkan penyerapan kalsium, dan lain-lain. Semakin tinggi tingkat kemakmuran dan kesadaran seseorang terhadap kesehatan, maka tuntutan terhadap ketiga fungsi bahan pangan tersebut akan semakin tinggi pula.
 
Apa itu pangan fungsional?
Dasar pertimbangan konsumen di negara-negara maju dalam memilih bahan pangan, bukan hanya bertumpu pada kandungan gizi dan kelezatannya, tetapi juga pengaruhnya terhadap kesehatan tubuhnya (Goldberg, 1994). Saat ini pangan telah diandalkan sebagai pemelihara kesehatan dan kebugaran tubuh. Bahkan bila dimungkinkan, pangan harus dapat menyembuhkan atau menghilangkan efek negatif dari penyakit tertentu.

Kenyataan tersebut menuntut suatu bahan pangan tidak lagi sekadar memenuhi kebutuhan dasar tubuh (yaitu bergizi dan lezat), tetapi juga dapat bersifat fungsional. Dari sinilah lahir konsep pangan fungsional (fungtional foods), yang akhir-akhir ini sangat populer di kalangan masyarakat dunia.

Kepopuleran tersebut ditunjang oleh suatu keyakinan bahwa di dalam pangan fungsional terkandung gizi-gizi dan zat-zat non gizi yang sangat penting khasiatnya untuk kesehatan dan kebugaran tubuh. Fenomena pangan fungsional telah melahirkan paradigma baru bagi perkembangan ilmu dan teknologi pangan, yaitu dilakukannya berbagai modifikasi produk olahan pangan menuju sifat fungsional. Saat ini, di Indonesia telah banyak dijumpai produk pangan fungsional, baik yang diproduksi di dalam negeri maupun impor.

Sejak tahun 1984, Pemerintah Jepang telah menyusun suatu alternatif pengembangan pangan fungsional dengan tujuan untuk memperbaiki fungsi-fungsi fisiologis, agar dapat melindungi tubuh dari penyakit, khususnya penyakit degeneratif seperti jantung koroner, hipertensi, diabetes, osteoporosis, dan kanker. Diharapkan dengan pengembangan pangan fungsional dapat meningkatkan derajat kesehatan serta menekan biaya medis bagi masyarakat Jepang.

Sampai saat ini belum ada definisi pangan fungsional yang disepakati secara universal. The International Food Information (IFIC) mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang memberikan manfaat kesehatan di luar zat-zat dasar. Menurut konsensus pada The First International Conference on East-West Perspective on Functional Foods tahun 1996, pangan fungsional adalah pangan yang karena kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, di luar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya.

Definisi pangan fungsional menurut Badan POM adalah pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Serta dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen. Selain tidak memberikan kontraindikasi dan tidak memberi efek samping pada jumlah penggunaan yang dianjurkan terhadap metabolisme zat gizi lainnya.

Golongan senyawa yang dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu di dalam pangan fungsional adalah senyawa-senyawa alami di luar zat gizi dasar yang terkandung dalam pangan yang bersangkutan, yaitu: (1) serat pangan (deitary fiber), (2) Oligosakarida, (3) gula alkohol (polyol), (4) asam lemak tidak jenuh jamak (polyunsaturated fatty acids = PUFA), (5) peptida dan protei tertentu, (6) glikosida dan isoprenoid, (7) polifenol dan isoflavon, (8) kolin dan lesitin, (9) bakteri asam laktat, (10) phytosterol, dan (11) vitamin dan mineral tertentu.

Meskipun mengandung senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan, pangan fungsional tidak berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk yang berasal dari senyawa alami (Badan POM, 2001). Pangan fungsional dibedakan dari suplemen makanan dan obat berdasarkan penampakan dan pengaruhnya terhadap kesehatan. Kalau obat fungsinya terhadap penyakit bersifat kuratif, maka pangan fungsional hanya bersifat membantu pencegahan suatu penyakit.

Persyaratan pangan fungsional

Jepang merupakan negara yang paling tegas dalam memberi batasan mengenai pangan fungsional, paling maju dalam perkembangan industrinya. Para ilmuwan Jepang menekankan pada tiga fungsi dasar pangan fungsional, yaitu:
  1. sensory (warna dan penampilannya yang menarik dan cita rasanya yang enak),
  2. nutritional (bernilai gizi tinggi), dan
  3. physiological (memberikan pengaruh fisiologis yang menguntungkan bagi tubuh).
Beberapa fungsi fisiologis yang diharapkan dari pangan fungsional antara lain adalah:
  1. pencegahan dari timbulnya penyakit,
  2. meningkatnya daya tahan tubuh,
  3. regulasi kondisi ritme fisik tubuh,
  4. memperlambat proses penuaan, dan
  5. menyehatkan kembali (recovery).
Menurut para ilmuwan Jepang, beberapa persyaratan yang harus dimiliki oleh suatu produk agar dapat dikatakan sebagai pangan fungsional adalah: (1) Harus merupakan produk pangan (bukan berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk) yang berasal dari bahan (ingredien) alami, (2) Dapat dan layak dikonsumsi sebagai bagian dari diet atau menu sehari-hari, (3) Mempunyai fungsi tertentu pada saat dicerna, serta dapat memberikan peran dalam proses tubuh tertentu, seperti: memperkuat mekanisme pertahanan tubuh, mencegah penyakit tertentu, membantu mengembalikan kondisi tubuh setelah sakit tertentu, menjaga kondisi fisik dan mental, serta memperlambat proses penuaan.

Dari konsep yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan, jelaslah bahwa pangan fungsional tidak sama dengan food supplement atau obat. Pangan fungsional dapat dikonsumsi tanpa dosis tertentu, dapat dinikmati sebagaimana makanan pada umumnya, serta lezat dan bergizi.

Peranan dari makanan fungsional bagi tubuh semata-mata bertumpu kepada komponen gizi dan non gizi yang terkandung di dalamnya. Komponen-komponen tersebut umumnya berupa komponen aktif yang keberadaannya dalam makanan bisa terjadi secara alami, akibat penambahan dari luar, atau karena proses pengolahan (akibat reaksi-reaksi kimia tertentu atau aktivitas mikroorganisme).

Contoh-contoh komponen aktif yang terdapat secara alami dalam bahan pangan adalah:
  1. nerodiol dan linalool pada teh hijau yang berperan untuk mencegah karies gigi dan mencegah kanker;
  2. komponen sulfur pada bawang-bawangan yang berfungsi untuk mencegah agregasi platelet dan menurunkan kadar kolesterol;
  3. kurkumin pada rimpang kunyit dan l-tumeron pada rimpang temulawak yang berkhasiat untuk pengobatan berbagai penyakit;
  4. daidzein dan genestein pada tempe yang berperan untuk menurunkan kolesterol dan mencegah kanker;
  5. serat pangan (dietary fiber) dari berbagai sayuran, buah-buahan, serealia, dan kacang-kacangan yang berperan untuk pencegahan timbulnya berbagai penyakit yang berkaitan dengan proses pencernaan; serta
  6. berbagai komponen volatil yang terdapat pada bunga melati (jasmin), chrysant dan chamomile yang aromanya sering digunakan sebagai aromaterapi.
Contoh komponen zat gizi yang sering ditambahkan ke dalam bahan makanan adalah:
  1. vitamin A, vitamin E, beta-karoten, flavonoid, selenium, dan seng (zinc) yang telah diketahui peranannya sebagai antioksidan untuk mengatasi serangan radikal bebas yang menjurus kepada timbulnya berbagai penyakit kanker;
  2. asam lemak omega-3 dari minyak ikan laut untuk menurunkan kolesterol dan meningkatkan kecerdasan otak, terutama pada bayi dan anak balita;
  3. kalsium untuk menjaga kesehatan tulang dan gigi, mencegah osteoporosis (kerapuhan tulang) dan tekanan darah tinggi;
  4. asam folat untuk mencegah anemia dan kerusakan syarat;
  5. zat besi untuk mencegah anemia gizi;
  6. iodium untuk mencegah gondok dan kretinisme (kekerdilan);
  7. oligosakarida untuk membantu pertumbuhan mikroflora yang dibutuhkan usus (bifido bacteria).
Contoh komponen aktif yang keberadaannya dalam bahan pangan akibat proses pengolahan adalah zat-zat tertentu pada produk fermentasi susu (yoghurt, yakult, kefir), fermentasi kedelai, dan lain-lain.

Pangan tradisional yang fungsional

Pangan fungsional dapat berupa makanan dan minuman yang berasal dari hewani atau nabati. Walaupun konsep pangan fungsional baru populer beberapa tahun belakangan ini, tetapi sesungguhnya banyak jenis makanan tradisional yang memenuhi persyaratan untuk disebut sebagai pangan fungsional.

Contoh pangan tradisional Indonesia yang memenuhi persyaratan pangan fungsional adalah: minuman beras kencur, temulawak, kunyit-asam, serbat, dadih (fermentasi susu khas Sumatera Barat), dali (fermentasi susu kerbau khas Sumatera Utara), sekoteng atau bandrek, tempe, tape, jamu, dan lain-lain. Contoh makanan tradisional mancanegara yang dapat dikategorikan sebagai makanan fungsional adalah: yoghurt, kefir, koumiss, dan lain-lain.

Beberapa contoh pangan fungsional modern adalah:
  1. pangan tanpa lemak, rendah kolesterol dan rendah trigliserida;
  2. breakfast cereals dan biskuit yang diperkaya serat pangan;
  3. mi instan yang diperkaya dengan berbagai vitamin dan mineral;
  4. permen yang mengandung zat besi, vitamin, dan fruktooligosakarida;
  5. pasta yang diperkaya dietary fiber;
  6. sosis yang diperkaya dengan oligosakarida, serat atau kalsium kulit telur;
  7. minuman yang mengandung suplemen dietary fiber, mineral dan vitamin;
  8. cola rendah kalori dan cola tanpa kafein;
  9. sport drink yang diperkaya protein;
  10. minuman isotonic dengan keseimbangan mineral;
  11. minuman untuk pencernaan;
  12. minuman pemulih energi secara kilat;
  13. teh yang diperkaya dengan kalsium, dan lain-lain.
Silakan dikonsumsi

Sesuai dengan definisinya bahwa pangan fungsional dapat dikonsumsi tanpa dosis tertentu, maka melibatkan pangan fungsional dalam menu sehari-hari adalah tindakan yang sangat baik dan tepat dari segi gizi. Konsumsi pangan fungsional dapat dilakukan oleh semua kelompok umur (kecuali bayi). Diversifikasi konsumsi pangan fungsional perlu diperkenalkan sedini mungkin sejak masa kanak-kanak, agar setelah dewasa memperoleh manfaat dan khasiat yang optimal, yaitu sehat dan bugar, produktif, mandiri, serta berumur panjang.

Di masa mendatang kehadiran pangan fungsional atau yang diklaim sebagai pangan fungsional akan semakin semarak di Tanah Air kita ini. Sebagai konsumen yang bijak dan sadar akan pentingnya gizi bagi kesehatan, maka selayaknya kita memperhitungkan betul manfaat dari setiap rupiah yang kita keluarkan untuk membeli bahan makanan tersebut.

Kita harus terhindar dari perbuatan membeli makanan yang semata-mata didasari atas pertimbangan selera dan prestise, tetapi tidak berarti bagi pencapaian tingkat kesehatan yang optimal. Membaca label merupakan tindakan yang harus kita lakukan sebelum memutuskan untuk membeli suatu produk.

Adapun keterangan yang wajib dicantumkan pada label adalah: nama pangan, berat/isi bersih, nama dan alamat perusahaan, daftar bahan yang digunakan, nomor pendaftaran, waktu kedaluwarsa, kode produksi, informasi nilai gizi, keterangan tentang peruntukan (jika ada), cara penggunaan (jika ada), keterangan lain jika perlu diketahui (termasuk peringatan), dan penyimpanan.
 
sumber : www.majalahpangan.com
  

Permasalahan Keamanan Pangan di Indonesia

Keamanan pangan merupakan prasyarat bagi suatu produk pangan, yang harus ditangani secara terpadu, melibatkan berbagai stakeholders; baik dari pemerintah, industri, dan konsumen. Pada kenyataannya; Indonesia harus menanggung beban ganda keamanan pangan. Beban pertama berkaitan dengan masalah-masalah mendasar keamanan pangan; terutama masih belum diaplikasikannya prinsip GMP dengan baik. Beban kedua, secara khusus berkaitan dengan industri pangan Indonesia yang berorientasi ekspor; yang harus menghadapi berbagai isu keamanan pangan baru yang selalu bermunculan dari waktu ke waktu, berubah-ubah dan berbeda dari satu negara ke negara lainnya.
Penyebab permasaiahan beban ganda keamanan pangan di Indonesia ini adalah belum dipahami dan disadarinya arti strategis keamanan pangan. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan perhatian yang layak pada (i) pembenahan infrastruktur keamanan pangan, (ii) program pendidikan pada produsen dan konsumen, (iii) prioritas alokasi dana untuk pembengunan keamanan pangan dan (iv) pembinaan dan fasilitasi prasarana untuk industri kecil dan menengah. Secara khusus, pemerintah Indonesia perlu memberikan prioritas yang cukup pada pembinaan dan fasilitasi prasarana keamanan pangan untuk industri kecil dan menengah. Peningkatan kondisi keamanan pangan industri kecil menengah ini akan memberikan dampak pada peningkatan status kesehatan masyarakat, peningkatan daya saing produk, dan pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas dan akan berkontribusi pada peningkatan daya saing bangsa.

Sumber : www.majalahpangan.com

Makna Strategis dari Hari Pangan Sedunia 2012

Hari Pangan Sedunia yang diperingati setiap tanggal 16 Oktober merupakan bagian terintegrasi dari Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa Bangsa (Food and Agriculture Organization, FAO) yang didirikan tahun 1945. Karena itu FAO adalah forum netral yang beranggotakan baik negara berkembang maupun negara sedang berkembang, dimana semua anggota adalah setara ketika duduk bersama merundingkan persetujuan dan memperdebatkan kebijakan tentang pangan dan pertanian.

FAO juga merupakan sumber pengetahuan dan informasi untuk menolong negara sedang berkembang dan negara dalam masa transisi untuk memperbaiki praktek-praktek di bidang-bidang seperti pertanian, kehutanan, dan perikanan untuk memastikan kecukupan nutrisi dan ketahanan pangan.

Hari Pangan Sedunia dideklarasi oleh negara-negara anggota FAO pada konferensi umum ke-20 bulan November 1979 dengan dimotori oleh Dr. Pal Romany, ketua delegasi Hongaria. Hingga tanggal 8 Agustus 2008 jumlah anggota FAO telah mencapai 191 negara dari seluruh belahan bumi. Tema hari pangan sedunia, tanggal 16 Oktober 2012 adalah "Agricultural Cooperatives - Key to Feeding The World". Tema ini dipilih untuk menunjukkan peran "kerjasama" dalam memperbaiki ketahanan pangan dan kontribusinya dalam usaha menghapuskan kelaparan dari muka bumi.

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan utama pendirian FAO dan peringatan Hari Pangan Sedunia adalah untuk mencapai kondisi Ketahanan Pangan diseluruh permukaan bumi, yang berarti ketersediaan/kecukupan dan keterjangkauan pangan (dengan nutrisi yang baik) oleh semua lapisan masyarakat. Untuk itu ada tiga hal penting yang harus diperhatikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat suatu negara, yaitu; Ketersediaan, Distribusi dan Pola Konsumsi.

Krisis Ketahanan Pangan Dunia

Gejolak harga pangan dunia menjadi agenda utama dalam rangka peringatan Hari Pangan Dunia yang jatuh pada Selasa, 16 Oktober 2012 bertempat di markas besar Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) di Roma dipimpim oleh Menteri Pertanian Prancis, Stephane Le Foll, dan dihadiri Menteri dari 20 Negara, termasuk produsen utama dan negara importir pangan.

Dengan harga sejumlah produk pangan terus bergejolak dan saat ini hampir mendekati level-level saat krisis pangan pada tahun 2007/2008, diperkirakan akan naik lagi menyusul prospek penurunan hasil produksi di sejumlah Negara produsen besar seperti Australia, Amerika Serikat (AS), Eropa dan Kawasan Laut Hitam. Hal menarik untuk disimak dari yang disampaikan oleh Menteri Pertanian Prancis, sekaligus saat ini juga mengetuai kelompok 20 (G 20), bahwa Kelompok G 20 akan terus mendukung langkah politik dan rencana nyata untuk mengatasi gejolak harga pangan global.

Desakan untuk menciptakan Tata kelola Ketahanan Pangan Global pada pertemuan tersebut mencuat kuat didasari guna menciptakan suatu pasar bagi komoditas pertanian yang lebih transparan dan sekaligus dapat merespons permintaan pangan global serta mengatasi dampak volatilitas dari harga pangan dunia. Untuk memperkuat Tata kelola Ketahanan Pangan sejumlah perangkat telah disusun, meliputi Reformasi di tubuh Komisi Ketahanan Pangan Dunia (CFS) dan pembentukan Satuan Kerja Tingkat Tinggi dalam Ketahanan Pangan Global, serta menciptakan Sistem Informasi Pasar Komoditas Pertanian (AMIS) yang secara penuh berfungsi dan berkontribusi untuk memperbaiki koordinasi internasional melalui berbagi informasi dan transparansi harga maupun jumlah/stok dari beberapa komoditas pangan yang dibutuhkan suatu Negara.

Makna Strategis dari Hari Pangan Dunia 2012 menjadi momentum tepat untuk meningkatkan peran bidang pertanian di Negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Secara umum, situasi ketahanan pangan nasional pada periode 2010-2011 menunjukan kecendrungan yang semakin baik. Hal ini ditunjukan oleh beberapa indikator ketahanan pangan, diantaranya; Pergerakan harga-harga pangan lebih stabil, meskipun terjadi peningkatan harga pada hari-hari besar nasional (Puasa, Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru) namun perlahan tapi pasti akan turun kembali pada posisi harga normal.

Selanjutnya, peran serta masyarakat dan pemerintah daerah meningkat, yang ditunjukan oleh semakin beragamnya kreativitas pemerintah daerah dalam menangani ketahanan pangan, serta meningkatnya pasrtisipasi masyarakat yang ditunjukan dengan meningkatnya tabungan kelompok. Berbagai indikasi yang terukur tersebut menunjukan bahwa berbagai upaya dan kebijakan ketahanan pangan yang dilakukan pemerintah telah memberikan hasil yang positif.

Namun kita harus tetap waspada dalam menyikapi dan mencermati perkembangan ketahanan pangan dunia ke depan, dimana telah terjadi besarnya ketergantungan pada impor pangan yang dialami oleh sebagian besar negara-negara berkembang, sehingga telah menjadi pokok persoalan pangan yang dihadapi, ditambah lagi perubahan iklim yang cukup ekstrem, yang sudah pasti akan berdampak pada pertanian, khususnya pengadaan komoditas sejumlah produk pangan.

Hal lainnya, seperti sisi terbatasnya daya dukung lahan, pertumbuhan penduduk yang tinggi, meningkatnya pola konsumsi masyarakat, serta kondisi iklim, bukan tidak mungkin akan semakin kewalahan bagi suatu negara untuk menjaga agar tetap kuat dalam menjaga ketahanan pangannya.  Bagi Indonesia, membangun ketahanan pangan merupakan kebutuhan mutlak dengan memusatkan daya dan upaya secara terarah untuk mencapai ketahanan pangan sebagai tujuan bersama.

Sumber : www.setkab.go.id