Selasa, 22 Oktober 2013

Soal Kemandirian Pangan

Menjelang bulanbulan terakhir masa jabatan Presiden Amerika Serikat (AS), Jimmy Carter (1977-1981), terbit sebuah buku Global 2000 Report to the President setebal 766 halaman karya Komisi Pemerintah AS yang mendapat tugas dari Presiden Jimmy Carter. Isinya laporanlaporan masalah pangan, air, ekologi, dan penduduk menjelang tahun 2000 yang lalu. Salah satu isi laporan tersebut menyatakan dunia tak cukup memberi makan untuk seluruh penduduk pada tahun 2000.

Meskipun ternyata isi laporan tersebut tak sepenuhnya terbukti, krisis pangan berulang kali terjadi di berbagai belahan dunia antara tahun 1981-2000. Selama kurun waktu tersebut juga banyak penduduk meninggal karena kelaparan. Laporan itu juga mengingatkan waktu untuk mengambil tindakan mencegah terjadinya hal ini hampir habis.

Kalau negara-negara secara kolektif dan sendiri-sendiri tidak mengambil langkah yang berani dan imajinatif ke arah perbaikan keadan sosial dan ekonomi, kesuburan yang berkurang, pengelolaan sumber-sumber yang lebih baik serta perlindungan lingkungan hidup, dunia tak dapat tidak akan mengalami kesulitan memasuki abad ke-21. Bahkan, laporan tersebut juga mengisyaratkan kekurangan air bisa mengakibatkan pecah perang.

Tentu kajian Global 2000 Report to the President tersebut tidak harus dipandang sebagai harga mati, tapi harus lebih dilihat sebagai peringatan untuk mengantisipasi masa depan. Tekanantekanan serius yang menimpa Bumi menyangkut penduduk, sumber daya alam, dan lingkungan hidup, sangat berpengaruh besar dalam penyediaan bahan pangan. Rumit Awal abad ke-21, persoalan pangan ternyata semakin sulit, rumit, dan kompleks.

Kemandirian pangan nasional boleh dikata masih rentan, meskipun tidak sampai terjadi bahaya kelaparan. Ironisnya, ketika kebutuhan bahan pangan semakin meningkat, sektor pertanian justru menurun. Dibandingkan beberapa dasawarsa yang lalu, makin banyak alangan pengadaan pangan, terutama dilihat dari sisi konsumsi dan produksi. Pada sisi konsumsi atau permintaan muncul masalah lonjakan jumlah penduduk, penggunaan komoditas pangan untuk bahan bakar, dan kesejahteraan yang meningkat.

Kombinasi dari ketiga faktor dari sisi permintaan itu mengakibatkan kenaikan konsumsi pangan yang luar biasa. Sementara itu, dari sisi produksi, tanah rusak, lahan menurun, lahan untuk usaha non pertanian, pengalihan air dari pertanian ke kebutuhan air warga perkotaan, produktivitas tanaman yang mandek, dan perubahan iklim global. Yang tak kalah penting produktivitas pangan naik tidak signifi kan karena belum muncul penemuan teknologi pembenihan beberapa tahun belakangan.

Pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan meluasnya areal perumahan, industri, dan jalan raya juga menyebabkan penurunan lahan pertanian. Banyak lahan pertanian yang berubah fungsi menjadi perumahan dan industri sudah sering didengar. Tetapi dengan terus bertambahnya jumlah kendaraan, yang juga mengurangi luasan lahan pertanian, sering kali kurang diperhitungkan.

Dengan jumlah kendaraan di Indonesia yang sebesar 94,2 juta (Korlantas, 2012), tentunya bisa dihitung seberapa banyak akan mengurangi lahan pertanian. Dengan kondisi seperti itu, akibatnya bisa ditebak, produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi. Sayang, kondisi seperti ini berlangsung terus-menerus tanpa upaya serius untuk mengatasinya. Impor bahan pangan pun kemudian menjadi andalan. Komoditas impor seperti beras, kedelai, jagung, daging, gula, bawang, gandum, buah-buahan banyak membanjiri pasar domestik.

Nilai impor pangan tahun 2012 mencapai 250 triliun rupiah atau 50 persen dari total impor. Banyak yang berpendapat impor pangan bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Karena besarnya nilai peredaran uang, impor pangan dipertahankan sebagai lahan bisnis orang-orang tertentu. Kasus impor daging sapi yang menimpa Luthfi Hasan Ishaq, Ahmad Fathanah, dan PT Indoguna, secara terang-benderang menggambarkan itu semua.

Mereka melakukan manipulasi mulai dari data, besaran komisi dan suap, jumlah kuota. Semua telah dirancang untuk membutru rente ekonomi. Perilaku ini, langsung atau tidak, menjadikan para petani atau peternak apatis untuk menghasilkan bahan pangan. Bagaimana tidak, pada saat-saat panen, harga justru anjlok. Sebelum panen, banyak impor dan dimikmati kalangan berdasi dengan dalih membantu kebutuhan pangan rakyat.

Dalam jangka panjang cara-cara memenuhi kebutuhan pangan seperti ini jelas tidak sehat. Para pakar meramalkan bahwa di masa depan banyak negara lebih disibukkan untuk mengurus instabilitas politik akibat kekurangan pangan dan harga pangan yang mahal. Kondisi tersebut tak akan terjadi bila negara yang bersangkutan memiliki kedaulatan pangan, yaitu lebih banyak memproduksi sendiri ketimbang impor.

Tekad Kuat Belakangan, bangsa ini seperti mengalami kemerosotan kepercayaan diri, khususnya dalam bidang pertanian. Padahal, semua bangsa yang maju dan sejahtera memiliki kepercayaan diri yang besar dan kemandirian yang menonjol. Tak ada satu pun bangsa sukses karena pemberian orang lain. Peningkatan produksi pangan nasional tidak bisa ditawar lagi bila ingin lepas dari jerat kebergantungan pada impor.

Di bidang pangan, Indonesia bukan hanya berpotensi swasembada, tetapi juga menjadi eksportir produk-produk pertanian tropis, sekaligus dengan agroindustrinya. Hal itu dapat dicapai bila Indonesia memiliki politik pangan yang mantap. Perlu mencapai swasembada 100 persen dan menjadi eksportir utama produk-produk pertanian tropis. Pencapaian kemandirian pangan akan memperbesar kebanggan na sional, meningkatkan kesejahteran rakyat, menghemat devisa, tercapainya jaminan pasokan, dan penciptaan lapangan kerja yang luas.

Belum optimalnya pendayagunaan potensi pertanian tropis karena wawasan pimpinan nasional tentang potensi pertanian tropis masih minim. Indonesia perlu memadukan beberapa faktor strategis ekonomi, secara optimal memanfaatkan keunggulan komparatif yang terdiri atas sektor pertanian (perkebunan, pangan, hortikultura, peternakan) termasuk agroindustri, kehutanan, pertambangan, perikanan modern, dan pariwisata. Perlu dicatat bahwa tidak banyak negara yang memiliki potensi keunggulan sebanyak Indonesia. Masa depan hanyalah milik mereka yang hari ini merencanakannya dengan tepat dan melaksanakannya dengan cerdas dan konsisten

Sumber : http://koran-jakarta.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari budayakan berkomentar baik