Tingginya konsumsi beras di Indonesia menyebabkan diterapkannya
kebijakan impor yang menyiksa petani dan mengancam kesehatan masyarakat.
Oleh sebab itu diperlukan diversifikasi pangan untuk mengatasi
tingginya konsumsi beras.
Konsumsi beras Indonesia menduduki peringkat satu dunia. Setiap
tahunnya, konsumsi beras per kapita oleh masyarakat Indonesia mencapai
139 kilogram per kapita. Jumlah ini sangat jauh bila dibandingkan dengan
negara Asia lainnya seperti Jepang dan Malaysia yang hanya 60 kg dan 80
kg per kapita per tahun. Dalam kasus yang lebih ekstrem, pada tahun
2008 provinsi Sulawesi Tenggara memiliki tingkat konsumsi sebesar 195,5
kilogram per kapita.
Tingginya konsumsi beras mengakibatkan permintaan beras di dalam
negeri tinggi dan terkadang tidak seimbang dengan ketersediaan.
Setidaknya terdapat dua alasan yakni tingginya impor yang merugikan
petani dan aspek kesehatan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2008 Indonesia
memproduksi padi sebesar 60,33 juta ton gabah kering giling (GKG).
Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2007 sebesar
3,17 juta ton atau 5,54 persen.
Walaupun produksi beras Indonesia tinggi, hal ini juga diimbangi
dengan tingginya konsumsi yang akhirnya mengarahkan kebijakan pemerintah
untuk melakukan impor beras. Kebijakan impor dipilih pemerintah untuk
memenuhi kebutuhan beras dalam negeri dan menekan harga agar tetap
terjangkau konsumen. Hal ini jelas merugikan petani.
Data yang dikumpulkan oleh Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan
(KRKP) selama tahun 1996 – 2003, Indonesia mengimpor beras rata rata 2,8
juta ton per tahun. Pada 2007 impor beras Indonesia mencapai 1,5 juta
ton dan baru pada tahun 2008 Indonesia bebas dari impor beras dengan
klaim pemerintah sebagai tahun swasembada beras.
Dari aspek kesehatan, konsumsi beras dalam jumlah tinggi tidaklah
baik bagi kesehatan. Dr.Ir.Posman Sibuea dari Lembaga Penelitian dan
Pengembangan (Lemlit) Tekonologi Pangan Universitas Methodist Medan
menuturkan bahwa pola makan yang monoton seperti mengkonsumsi nasi
kuranglah baik karena asupan gizi yang diterima oleh tubuh menjadi lebih
sedikit.
Witoro selaku Sekretaris Jendral KRKP menuturkan bahwa terdapat
banyak sekali alternatif pilihan makanan pokok pengganti beras yang
mengandung karbohidrat. karbohidrat dapat ditemui dalam berbagai jenis
makanan lain seperti ubi kayu (singkong), ubi, ketela, jagung, sagu,
gandum, kentang, jagung, talas dan masih banyak lagi. Sayangnya, di
dalam masyarakat Indonesia muncul resistensi bahwa selain beras adalah
makanan yang terkesan kurang bergengsi.
“Indonesia memiliki banyak varian konsumsi pokok seperti singkong,
masalahnya orang masih berpikir bahwa singkong adalah ciri makanan
menengah ke bawah. Paradigma ini harus diubah sehingga masyarakat mau
mengkonsumsi selain beras,” tandasnya.
Salah satu daerah di Indonesia yang sedang mengupayakan pengembangan
pangan alternatif adalah Nusa Tenggara Timur. Upaya yang dilakukan
adalah melalui program “desa mandiri pangan menuju desa sejahtera”.
Program ini dilakukan untuk mengatasi masalah kerawanan pangan karena
ketergantungan yang tinggi pada beras. Pelaksanaan program dimulai dari
pemerintah yang berkomitmen menyelesaikan kelaparan dengan pangan lokal.
Setiap hari kamis dan jumat, pemerintah NTT mengkonsumsi berbagai
pangan lokal seperti jagung dan sagu di lingkungan pemerintahan.
Sumber : http://desasejahtera.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari budayakan berkomentar baik