Selasa, 22 Oktober 2013

Kebijakan Stabilisasi Harga Pangan 2002-2012

Sistim perdagangan pangan dunia yang semakin terbuka atau pasar bebas menyebabkan harga produk pangan di dalam negeri ikut terpengaruh oleh situasi dan kondisi harga internasional. Kondisi tersebut dan berbagai masalah ketersediaan dan distribusi, menyebabkan harga komoditas pangan, terutama pangan strategis seperti beras, kedelai, daging sapi, cabai dan bawang merah menjadi berfluktuasi. Indonesia sebagai negara agraris menghasilkan berbagai macam produk pangan strategis, bahkan untuk komoditas tertentu sudah surplus.
Agar produksi pangan dapat berkelanjutan, dan kebutuhan pangan masyarakat dapat terpenuhi, pemerintah harus melindungi masyarakat dan petani dari gejolak harga, seperti harga jatuh pada saat panen raya, dan harga melambung pada saat di luar panen. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan kebijakan stabilisasi harga pangan agar petani sebagai produsen mendapatkan hasil yang menguntungkan, dan masyarakat sebagai konsumen mampu membeli bahan pangan dengan harga yang terjangkau.
Kebijakan stabilisasi harga pangan berperan dalam memantapkan ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan ketahanan/stabilitas politik nasional. Pengalaman Tahun 1996 dan Tahun 1998 membuktikan bahwa terjadinya goncangan ekonomi yang kemudian berubah menjadi krisis politik, terjadi karena harga pangan melonjak drastis dalam jangka waktu yang pendek. Untuk menghindari terulangnya kejadian tersebut, pemerintah berupaya merumuskan kebijakan stabilitas harga pangan yang komprehensif dan dapat merespon beberapa perubahan lingkungan strategis seperti dinamika ekonomi global dan perubahan sistem manajemen pemerintahan agar krisis ekonomi dan krisis politik tidak terulang kembali.
Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian, khususnya Bidang Harga Pangan mempunyai andil yang besar baik secara langsung maupun tidak, dalam menyusun regulasi atau kebijakan pemerintah terkait stabilisasi harga pangan strategis. Kinerja Bidang Harga Pangan yang memberikan andil terhadap perumusan kebijakan stabilisasi tersebut antara lain kebijakan perberasan (Harga Pembelian Pemerintah/HPP), kebijakan stabilisasi harga kedelai (SHK), pemantauan harga pangan pokok pada hari-hari besar keagamaan dan nasional (HBKN), prognosa ketersediaan dan kebutuhan pangan strategis, serta kebijakan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Secara rinci beberapa peran Bidang Harga Pangan dalam perumusan kebijakan dan stabilisasi harga tersebut adalah sebagai berikut:

  1. 1.    Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah/Beras
Salah satu masalah klasik yang sering dialami petani padi adalah anjloknya harga jual gabah/beras pada saat panen raya, dan meningkatnya harga pada saat diluar panen. Kondisi tersebut menyebabkan petani menjadi rugi dan usahatani padi tidak menguntungkan. Selain itu, kenaikan harga beras dapat menimbulkan gejolak sosial mengingat beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah berupaya membuat regulasi/kebijakan perberasan agar gabah/beras petani dibeli dengan harga tertentu yang bisa memberikan keuntungan yang layak bagi petani. Selain itu, beras dijual ke masyarakat/konsumen diatur dengan harga tertentu sehingga masyarakat mampu mengakses dalam batas wajar. Kebijakan tersebut dikenal dengan istilah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) procurement price policy.
Penetapan HPP dilakukan dalam rangka meningkatkan pendapatan petani, pengembangan ekonomi pedesaan, stabilitas ekonomi nasional, peningkatan ketahanan pangan, dan dalam rangka pengadaan cadangan pangan. Selain itu juga untuk mendukung peningkatan produktivitas petani padi dan produksi beras nasional. HPP gabah yang ditetapkan pemerintah diharapkan menjadi “semacam harga minimum” (floor price) yang berfungsi sebagai referensi harga (price reference) bagi petani dan pedagang yang melakukan transaksi jual-beli gabah/beras.
Badan Ketahanan Pangan berperan besar dalam penyusunan kebijakan HPP gabah/beras. Kegiatan yang dilakukan BKP dalam proses penyusunan HPP gabah/beras antara lain melakukan kajian/analisis harga nasional dan internasional, analisis usaha tani, analisis usaha perdagangan dan pengolahan gabah/beras untuk memperoleh informasi besaran harga pembelian pemerintah (HPP) gabah/beras yang bisa melindungi petani dan konsumen. Selain itu juga, melakukan koordinasi dengan unit kerja terkait seperti Ditjen Tanaman Pangan, untuk membahas dan menentukan besaran HPP, serta terlibat langsung dalam penyusunan Instruksi Presiden tentang HPP.
Penetapan HPP gabah/beras pertama kali dilakukan pada tahun 2002 yang dituangkan melalui Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2002. Sampai tahun 2012, sudah 8 (delapan) kali ditetapkan kebijakan HPP gabah/beras untuk menyesuaikan situasi perberasan dalam negeri, terutama akibat perkembangan harga yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Selama periode tersebut, kenaikan HPP Gabah Kering Panen (GKP) berkisar 8-30 persen atau rata-rata 15,43 persen per tahun, kenaikan HPP Gabah Kering Giling (GKG) berkisar 4-27 persen atau rata-rata 13,82 persen per tahun, dan HPP beras berkisar 0-30 persen atau rata-rata 15,90 persen per tahun, seperti terlihat pada Tabel 1.

Beberapa hal yang mendasari perubahan kebijakan HPP antara lain penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM), seperti kejadian pada tanggal 1 Oktober 2005 terjadi kenikan solar sebesar 124 persen yang berdampak sangat besar terhadap kinerja sektor pertanian. Untuk mempertahankan profitabilitas usahatani padi agar usaha tani padi menguntungkan (minimal 30 persen), pemerintah mengeluarkan kebijakan perberasan baru melalui Inpres No. 13/2005 yang menaikan HPP gabah/beras.
Faktor lain yang menyebabkan perubahan HPP adalah harga gabah/beras di pasaran yang jauh lebih tinggi dibanding HPP, seperti pada akhir Tahun 2006 sampai awal 2007, harga gabah/beras sekitar 40-60 persen di atas HPP. Hal ini menyebabkan Bulog tidak dapat memenuhi target pengadaan gabah/beras pemerintah, sehingga pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan perberasan melalui Inpres No. 3 Tahun 2007. Selain itu, tingginya harga beras dunia yang terjadi karena berbagai masalah di negara-negara produsen, seperti bencana alam dan tingginya harga minyak juga menjadi salah satu pertimbangan perubahan kebijakan HPP.
Kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk subsidi pada April 2010 yang berdampak pada tingginya usahatani padi, juga menjadi salah satu alasan pemerintah kembali menaikkan HPP sebesar 10 persen dengan mengeluarkan Inpres No. 7 Tahun 2009 yang mulai diberlakukan pada Januari 2010. Diharapkan dengan penyesuaian HPP tersebut, pendapatan petani tidak menurun dan peningkatan produksi beras nasional tidak terganggu.
Selama Tahun 2002 – 2004, harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani masih berada di bawah HPP (antara 41,6 – 66,67 persen), namun sejak Tahun 2005 – 2012, harga GKP selalu berada di atas HPP, yaitu pada kisaran 4,4 – 36,20 persen di atas HPP, seperti terlihat pada Gambar 1. Dengan demikian kenaikan HPP GKP berdampak positif dalam meningkatkan harga aktual GKP petani dengan persentase yang jauh lebih tinggi, baik pada bulan-bulan panen raya (Maret-April) maupun tahunan. Hal ini menunjukkan kenaikan harga aktual GKP di tingkat petani berdampak langsung terhadap keuntungan usahatani padi.
Di tingkat konsumen, kebijakan perberasan dengan penetapan HPP juga dinilai cukup efektif mengendalikan harga beras dalam negeri. Pada Januari 2008, dunia internasional sedang mengalami krisis pangan yang menyebabkan harga komoditas pangan penting seperti beras, jagung, kedelai dan gandum melonjak tajam. Melonjaknya harga beras dunia pada periode tersebut tidak mempengaruhi harga beras dalam negeri.
Sebagai contoh pada Gambar 2, terlihat bahwa harga beras dalam negeri varietas IR-I di Pasar Beras Induk Cipinang (PIBC) cenderung stabil, walaupun harga beras Thai bergejolak tinggi sejak Maret 2008 pada kisaran 5 persen. Tingkat fluktuasi harga beras Thai juga lebih besar 5 persen dibandingkan harga beras dalam negeri. Hal ini menunjukkan kebijakan HPP gabah/beras dapat membantu stabilisasi harga di dalam negeri akibat perubahan harga gabah/beras internasional.

  1. 2.    Stabilisasi Harga Kedelai (SHK)
Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan yang sangat strategis karena merupakan bahan baku tahu dan tempe yang merupakan sumber lauk-pauk utama sebagian besar penduduk Indonesia. Bahkan pada tahun 60-an, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa tempe, karena tingginya konsumsi masyarakat pada komoditas tempe.
Kebutuhan kedelai dari tahun ke tahun semakin meningkat, namun Indonesia mengalami berbagai permasalahan seperti ketersediaan dalam negeri yang belum mencukupi, rata-rata baru mencapai sekitar 40 persen sehingga untuk memenuhi kekurangannya melalui impor. Selain itu, tata niaga kedelai yang didominasi pengusaha importir sering berdampak pada instabilitas harga kedelai di tingkat masyarakat, baik produsen dalam hal ini pengrajin tahu dan tempe, maupun konsumen atau masyarakat luas. Ketergantungan kedelai terhadap produk impor juga berpengaruh terhadap harga di dalam negeri akibat fluktuasi harga kedelai di pasar internasional. Kondisi tersebut menyebabkan kedelai berpengaruh terhadap perubahan inflasi.
Selama periode 2002-2012, harga kedelai dalam negeri baik kedelai lokal ataupun kedelai eks-impor terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun dengan perubahan kenaikan sekitar 11,46 persen per tahun seperti terlihat pada Gambar 3. Lonjakan kenaikan harga kedelai yang sangat signifikan terjadi pada tahun 2008, sebesar 58,41 persen dari Rp 5.389/kg menjadi Rp 8.536/kg, yang diakibatkan kenaikan harga kedelai di pasar internasional sebesar 48,16 persen.
Melihat berbagai permasalahan seperti di atas, pemerintah harus mengambil langkah-langkah penanganan terhadap stabilitas dan pengendalian harga kedelai agar ketersediaan dan fluktuasi harga kedelai tidak menganggu stabilitas masyarakat. Seperti kejadian tahun 2008, untuk menurunkan harga kedelai dalam negeri, pemerintah membebaskan kebijakan bea masuk kedelai impor pada tahun 2008 dan menggalakan petani untuk menanam kedelai dengan memberikan subsidi.
Mengingat kedelai merupakan komoditas strategis, dan banyaknya permasalahan dalam penanganannya, sejak tahun 2002 pemerintah telah berupaya untuk menjaga stabilitas harga kedelai. Pada tahun 2003 pemerintah telah menargetkan untuk tahun 2006 tidak akan melakukan impor kedelai terutama untuk kebutuhan industri, namun harus dipenuhi dari dalam negeri agar harga jual kedelai petani tidak jatuh. Untuk melindungi produsen lokal agar harga kedelai lebih murah, pada Tahun 2005 bea masuk kedelai impor ditetapkan 10 persen, jauh lebih rendah dari usulan sekitar 30 persen.
Pada Tahun 2008, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menekan gejolak harga kedelai impor, yaitu  bea masuk dibebaskan, PPh impor turun dari 2,5 persen ke 0,5 persen, dan pemberian subsidi bagi bahan baku kedelai Rp 1.000/kg selama 6 bulan. Selain itu, mengingat produksi nasional kedelai masih rendah, pemerintah menargetkan alokasi dana Rp 1 triliun bagi pengembangan kedelai nasional yang akan digunakan untuk peningkatan produksi nasional kedelai menjadi 1 juta ton, dan pemberian bibit paritas unggul pagi petani.
Sampai tahun 2012 , produksi kedelai dalam negeri masih belum mencukupi kebutuhan nasional, sehingga pemenuhanya dilakukan melalui impor. Namun demikian, kebijakan tersebut berdampak pada gejolak harga di tingkat masyarakat. Harga jual kedelai petani biasanya anjlok pada saat panen raya akibat harga kedelai impor yang jauh lebih murah. Sedangkan pada saat tidak panen, harga jual kedelai ke pengrajin sangat mahal sehingga berdampak pada naiknya harga tahu dan tempe yang ujungnya  berdampak pada terganggunya daya beli masyarakat.
Badan Ketahanan Pangan khususnya Pusat Distribusi dan Cadangan Pangan berperan cukup besar dalam upaya pemerintah untuk mestabilkan harga kedelai, antara lain melalui penyediaan informasi perkembangan harga kedelai tingkat produsen, harga kedelai di tingkat konsumen, harga internasional, neraca ketersediaan dan kebutuhan kedelai, serta analisis usaha tani kedelai. Informasi tersebut merupakan bahan untuk mengambil kebijakan stabilisasi harga kedelai, seperti untuk merekomendasikan impor dan distribusi kedelai ke daerah-daerah yang kekurangan. Selain itu, peran BKP juga terlihat melalui pertemuan dan koordinasi dengan unit kerja terkait untuk memantau pergerakan harga serta ketersediaan dan kebutuhan kedelai.
Pada Tahun 2013, Pemerintah mengeluarkan kebijakan Program Stabilisasi Harga Kedelai (Program SHK) yang bertujuan untuk stabilisasi harga kedelai di tingkat petani dan di tingkat pengrajin secara bersamaan. Hal ini dilakukan mengingat sejak bulan Agustus 2012, harga kedelai dalam negeri melonjak tinggi dan sulit dikendalikan sehingga menimbulkan gejolak dimasyarakat. Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian terlibat langsung dalam penyusunan kebijakan Program SHK, dari mulai proses penyusunan peraturan, hingga mekanisme pelaksanaan kebijakan, termasuk di dalamnya dalam penentuan harga beli kedelai di tingkat petani.
Selain menyediakan informasi, BKP juga melaksanakan berbagai rapat koordinasi teknis mengenai Kebijakan Harga Pembelian dan Penjualan Pemerintah Komoditas Kedelai, seperti yang dilaksanakan pada tanggal 20 September 2012 di Bogor yang dihadiri oleh wakil-wakil dari Kedeputian II Bidang Koordinasi Pertanian dan Kelautan Kemenko Bidang Perekonomian; Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan; Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan, Kemendag; Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementan; Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan dan Pertanian, Kementan.
Kebijakan SHK ditetapkan pada tanggal 28 Mei 2013 melalui Peraturan Menteri Perdagangan No.23/2013 tentang program Stabilisasi Harga Kedelai yang merupakan implementasi dari Perpres No.32/2013 tentang Penugasan Kepada Perum Bulog untuk Pengamanan Harga dan Penyaluran Kedelai. Melalui program stabilisasi harga kedelai, pemerintah berupaya mengatur tata niaga kedelai melalui pembelian kedelai petani dengan harga tertentu sehingga petani mendapat keuntungan yang layak, dan menjual kedelai kepada pengrajin tahu/tempe dengan harga tertentu sehingga harga jual produk terjangkau masyarakat. Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan ini, pemerintah juga telah mengeluarkan peraturan tentang Penetapan Harga Pembelian/Penjualan Kedelai Petani  melalui Permendag No.25/2013 dimana Badan Ketahanan Pangan juga terlibat dalam penyusunannya.
Di dalam Program SHK, Harga Pembelian Kedelai Petani yang selanjutnya disebut HBP Kedelai  adalah harga acuan pembelian kedelai di tingkat petani yang ditetapkan sebesar Rp 7.000/kg. HBP kedelai tersebut berlaku untuk masa panen raya triwulan III periode 1 Juli sampai dengan 30 September 2013. Sementara harga penjualan kedelai di tingkat pengrajin tahu/tempe disebut HJP kedelai berlaku 1 bulan, ditetapkan sebesar Rp 7.450/kg berlaku untuk bulan Juli 2013, dan Rp.7.700/kg untuk bulan Agustus 2013, dan akan ditinjau kembali untuk bulan selanjutnya. Apabila masa berlaku telah lewat, tetapi penetapan HJP yang baru belum ditetapkan, maka  HJP kedelai yang berlaku masih sama dengan harga sebelumnya. Untuk menentukan besaran HBP dan HJP, Badan Ketahanan Pangan sebagai salah satu anggota Tim Program SHK ikut terlibat langsung dalam rapat atau forum Tim SHK yang dikoordinisi oleh Kementerian Perdagangan.

  1. 3.    Prognosa Kebutuhan dan Ketersediaan Pangan
Upaya penyediaan pangan memerlukan perencanaan yang matang dimulai dari perencanaan produksi, pengolahan, sampai dengan distribusinya. Upaya tersebut memerlukan waktu dan proses yang panjang serta melibatkan banyak pihak. Berkaitan dengan tugas pokok Badan Ketahanan Pangan (BKP) sebagai salah satu instansi yang menangani urusan/bidang ketahanan pangan, maka BKP mempunyai tanggung jawab dalam mengkoordinasikan penyusunan prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan sejak awal tahun dengan berbagai pihak terkait, terutama dengan Direktorat Teknis lingkup Kementerian Pertanian. Penyusunan prognosa tersebut harus dilakukan secara tepat dan akurat agar perencanaan dan kebijakan yang diambil juga tepat sasaran dan merupakan kebijakan Kementerian Pertanian.
Prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan sudah dimulai BKP sejak tahun 2002. Prognosa tersebut merupakan informasi tentang kondisi kebutuhan dan ketersediaan pangan yang disusun dalam format bulanan. Pada awalnya penyusunan prognosa bertujuan untuk sosialisasi dan informasi perkiraan kondisi ketersediaan dan kebutuhan pangan menjelang Hari-hari Besar Keagamaan dan Nasional (HBKN). Bagi masyarakat, informasi tersebut diharapkan dapat dijadikan acuan untuk mengantisipasi, mencari alternatif bahan pangan dan mengatur tingkat konsumsi dalam mengatasi kebutuhan pangan yang relatif meningkat pada periode menjelang HBKN. Bagi pemerintah, informasi tersebut diperlukan untuk mengambil langkah-langkah antisipasi menjaga stabilitas pasokan bahan pangan pokok dalam menghadapi HBKN agar volumenya mencukupi dengan harga yang tidak melonjak terlalu tinggi. Dengan berjalannya waktu, penyusunan prognosa mempunyai tujuan yang lebih luas lagi yaitu prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan dijadikan acuan dalam menentukan sasaran produksi, penyediaan pasokan impor, dan perumusan langkah-langkah antisipasi pemenuhan kebutuhan selama 1 (satu) tahun.
Selama tahun 2005-2010, perhitungan prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan dilakukan pada 9 komoditas strategis yang pada hari-hari besar keagamaan mengalami gejolak harga dan mengalami peningkatan kebutuhan konsumen, yaitu beras, kacang tanah, gula pasir, minyak goreng, cabai merah, bawang merah, daging sapi, daging ayam dan telur ayam. Pada tahun 2011, meningkat menjadi 10 komoditas dengan penambahan komoditas jagung, dan mulai tahun 2012 menjadi 12 komoditas dengan penambahan kedelai dan cabai (cabai rawit dan cabai besar), seperti terlihat pada Tabel ....
Dalam beberapa tahun terakhir ini, prognosa kebutuhan dan ketersediaan bahan pangan sudah menjadi bahan utama dalam rapat koordinasi kebijakan stabilisasi harga pangan, baik dalam rapat teknis maupun rapat terbatas di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Selain itu, prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan juga menjadi acuan dalam pemberian rekomendasi impor oleh Kementerian Pertanian yang digunakan untuk memperoleh surat penerbitan impor (SPI) oleh Kementerian Perdagangan.
Penyusunan prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan pokok minimal disusun berdasarkan kebutuhan dan angka sasaran produksi (prognosa I). Selanjutnya prognosa tersebut akan dievaluasi dan disempurnakan sesuai dengan perubahan angka prognosa produksi (BPS), angka realisasi produksi (Ditjen teknis), ekspor dan impor. Beberapa tahapan penyusunan prognosa, yaitu: (a) Revisi I: Prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan yang didasarkan pada prognosa produksi BPS (Maret-April); (b) Revisi II: Prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan yang didasarkan pada ARAM I BPS (Juli-Agustus); dan (c) Revisi III: Prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan yang didasarkan pada ARAM II BPS (November).

  1. 4.    Pemantauan Harga Hari-Hari Besar Keagamaan dan Nasional/HBKN
Indonesia adalah Negara yang sangat beragam, baik dari aspek budaya, sosial dan agama, serta pendirian bangsa yang penuh dengan latar belakang historis. Hal tersebut menyebabkan banyaknya hari-hari besar keagamaan dan nasional (HBKN) seperti Puasa, Idul Fithri, Idul Adha, Natal dan lainnya. Kultur budaya sebagian besar masyarakat Indonesia dalam menyambut dan merayakan HBKN umumnya membutuhkan bahan pangan dalam jumlah yang lebih banyak dibanding hari biasa. Kondisi ini menyebabkan tidak seimbangnya permintaan masyarakat dengan ketersediaan yang ada dalam periode tertentu. Hal tersebut mengakibatkan fluktuasi harga yang cukup tinggi pada hampir semua komoditas pangan.
Sejak tahun 2002-2012, secara umum kondisi harga pangan nasional cenderung berfluktuasi dan naik setiap tahunnya. Fluktuasi harga disebabkan adanya kenaikan permintaan menjelang HBKN seperti Idul Fitri, Idul Adha dan Natal, serta dampak dari kenaikan harga di pasar internasional. Kebijakan pemerintah seperti kenaikan harga BBM juga berpengaruh terhadap instabilitas harga. Sebagai contoh, pada pertengah tahun 2012 terjadi kenaikan harga BBM pada saat menjelang bulan puasa. Hal ini berdampak pada peningkatan harga bahan pangan pada hampir semua komoditas, terutama cabai, bawang merah, dan daging sapi yang membuat gejolak di masyarakat.
Pemerintah sudah mengantisipasi gejolak harga pada saat dan menjelang HBKN antara lain melalui pemantauan harga di pasar-pasar, baik pasar modern maupun tradisional untuk mengetahui kondisi riil serta upaya antisipasi kenaikan harga pangan. Badan Ketahanan Pangan sebagai bagian dari pemerintah juga ikut terlibat dalam kegiatan tersebut, antara lain melakukan Kunjungan Kerja lapangan baik Menteri Pertanian maupun Kepala Badan. Dari hasil kunjungan kerja lapangan akan diperoleh data dan informasi yang riil di tingkat masyarakat sehingga bisa diambil langkah-langkah kebijakan untuk mengantisipasi atau mengendalikan gejolak harga.

Sumber : http://bkp.deptan.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari budayakan berkomentar baik