Sistim perdagangan pangan dunia yang
semakin terbuka atau pasar bebas menyebabkan harga produk pangan di
dalam negeri ikut terpengaruh oleh situasi dan kondisi harga
internasional. Kondisi tersebut dan berbagai masalah ketersediaan dan
distribusi, menyebabkan harga komoditas pangan, terutama pangan
strategis seperti beras, kedelai, daging sapi, cabai dan bawang merah
menjadi berfluktuasi. Indonesia sebagai negara agraris menghasilkan
berbagai macam produk pangan strategis, bahkan untuk komoditas tertentu sudah surplus.
Agar produksi pangan dapat
berkelanjutan, dan kebutuhan pangan masyarakat dapat terpenuhi,
pemerintah harus melindungi masyarakat dan petani dari gejolak harga,
seperti harga jatuh pada saat panen raya, dan harga melambung pada saat
di luar panen. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan
kebijakan stabilisasi harga pangan agar petani sebagai produsen
mendapatkan hasil yang menguntungkan, dan masyarakat sebagai konsumen
mampu membeli bahan pangan dengan harga yang terjangkau.
Kebijakan stabilisasi harga pangan
berperan dalam memantapkan ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan
ketahanan/stabilitas politik nasional. Pengalaman Tahun 1996 dan Tahun
1998 membuktikan bahwa terjadinya goncangan ekonomi yang kemudian
berubah menjadi krisis politik, terjadi karena harga pangan melonjak
drastis dalam jangka waktu yang pendek. Untuk menghindari terulangnya
kejadian tersebut, pemerintah berupaya merumuskan kebijakan stabilitas
harga pangan yang komprehensif dan dapat merespon beberapa perubahan
lingkungan strategis seperti dinamika ekonomi global dan perubahan
sistem manajemen pemerintahan agar krisis ekonomi dan krisis politik
tidak terulang kembali.
Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian
Pertanian, khususnya Bidang Harga Pangan mempunyai andil yang besar
baik secara langsung maupun tidak, dalam menyusun regulasi atau
kebijakan pemerintah terkait stabilisasi harga pangan strategis. Kinerja
Bidang Harga Pangan yang memberikan andil terhadap perumusan kebijakan
stabilisasi tersebut antara lain kebijakan perberasan (Harga Pembelian
Pemerintah/HPP), kebijakan stabilisasi harga kedelai (SHK), pemantauan
harga pangan pokok pada hari-hari besar keagamaan dan nasional (HBKN),
prognosa ketersediaan dan kebutuhan pangan strategis, serta kebijakan
Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Secara rinci beberapa
peran Bidang Harga Pangan dalam perumusan kebijakan dan stabilisasi
harga tersebut adalah sebagai berikut:
- 1. Penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah/Beras
Salah satu masalah klasik yang sering
dialami petani padi adalah anjloknya harga jual gabah/beras pada saat
panen raya, dan meningkatnya harga pada saat diluar panen. Kondisi
tersebut menyebabkan petani menjadi rugi dan usahatani padi tidak
menguntungkan. Selain itu, kenaikan harga beras dapat menimbulkan
gejolak sosial mengingat beras merupakan makanan pokok masyarakat
Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah berupaya membuat
regulasi/kebijakan perberasan agar gabah/beras petani dibeli dengan
harga tertentu yang bisa memberikan keuntungan yang layak bagi petani.
Selain itu, beras dijual ke masyarakat/konsumen diatur dengan harga
tertentu sehingga masyarakat mampu mengakses dalam batas wajar.
Kebijakan tersebut dikenal dengan istilah Harga Pembelian Pemerintah
(HPP) procurement price policy.
Penetapan HPP dilakukan dalam rangka
meningkatkan pendapatan petani, pengembangan ekonomi pedesaan,
stabilitas ekonomi nasional, peningkatan ketahanan pangan, dan dalam
rangka pengadaan cadangan pangan. Selain itu juga untuk mendukung
peningkatan produktivitas petani padi dan produksi beras nasional. HPP
gabah yang ditetapkan pemerintah diharapkan menjadi “semacam harga
minimum” (floor price) yang berfungsi sebagai referensi harga (price reference) bagi petani dan pedagang yang melakukan transaksi jual-beli gabah/beras.
Badan Ketahanan Pangan berperan besar
dalam penyusunan kebijakan HPP gabah/beras. Kegiatan yang dilakukan BKP
dalam proses penyusunan HPP gabah/beras antara lain melakukan
kajian/analisis harga nasional dan internasional, analisis usaha tani,
analisis usaha perdagangan dan pengolahan gabah/beras untuk memperoleh
informasi besaran harga pembelian pemerintah (HPP) gabah/beras yang bisa
melindungi petani dan konsumen. Selain itu juga, melakukan koordinasi
dengan unit kerja terkait seperti Ditjen Tanaman Pangan, untuk membahas
dan menentukan besaran HPP, serta terlibat langsung dalam penyusunan
Instruksi Presiden tentang HPP.
Penetapan HPP gabah/beras pertama kali
dilakukan pada tahun 2002 yang dituangkan melalui Instruksi Presiden No.
9 Tahun 2002. Sampai tahun 2012, sudah 8 (delapan) kali ditetapkan
kebijakan HPP gabah/beras untuk menyesuaikan situasi perberasan dalam
negeri, terutama akibat perkembangan harga yang terus meningkat dari
tahun ke tahun. Selama periode tersebut, kenaikan HPP Gabah Kering Panen
(GKP) berkisar 8-30 persen atau rata-rata 15,43 persen per tahun,
kenaikan HPP Gabah Kering Giling (GKG) berkisar 4-27 persen atau
rata-rata 13,82 persen per tahun, dan HPP beras berkisar 0-30 persen
atau rata-rata 15,90 persen per tahun, seperti terlihat pada Tabel 1.
Beberapa hal yang
mendasari perubahan kebijakan HPP antara lain penyesuaian harga bahan
bakar minyak (BBM), seperti kejadian pada tanggal 1 Oktober 2005 terjadi
kenikan solar sebesar 124 persen yang berdampak sangat besar terhadap
kinerja sektor pertanian. Untuk mempertahankan profitabilitas usahatani
padi agar usaha tani padi menguntungkan (minimal 30 persen), pemerintah
mengeluarkan kebijakan perberasan baru melalui Inpres No. 13/2005 yang
menaikan HPP gabah/beras.
Faktor lain yang
menyebabkan perubahan HPP adalah harga gabah/beras di pasaran yang jauh
lebih tinggi dibanding HPP, seperti pada akhir Tahun 2006 sampai awal
2007, harga gabah/beras sekitar 40-60 persen di atas HPP. Hal ini
menyebabkan Bulog tidak dapat memenuhi target pengadaan gabah/beras
pemerintah, sehingga pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan
perberasan melalui Inpres No. 3 Tahun 2007. Selain itu, tingginya harga
beras dunia yang terjadi karena berbagai masalah di negara-negara
produsen, seperti bencana alam dan tingginya harga minyak juga menjadi
salah satu pertimbangan perubahan kebijakan HPP.
Kenaikan Harga Eceran
Tertinggi (HET) pupuk subsidi pada April 2010 yang berdampak pada
tingginya usahatani padi, juga menjadi salah satu alasan pemerintah
kembali menaikkan HPP sebesar 10 persen dengan mengeluarkan Inpres No. 7
Tahun 2009 yang mulai diberlakukan pada Januari 2010. Diharapkan dengan
penyesuaian HPP tersebut, pendapatan petani tidak menurun dan
peningkatan produksi beras nasional tidak terganggu.
Selama Tahun 2002 –
2004, harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani masih berada di
bawah HPP (antara 41,6 – 66,67 persen), namun sejak Tahun 2005 – 2012,
harga GKP selalu berada di atas HPP, yaitu pada kisaran 4,4 – 36,20
persen di atas HPP, seperti terlihat pada Gambar 1. Dengan demikian
kenaikan HPP GKP berdampak positif dalam meningkatkan harga aktual GKP
petani dengan persentase yang jauh lebih tinggi, baik pada bulan-bulan
panen raya (Maret-April) maupun tahunan. Hal ini menunjukkan kenaikan
harga aktual GKP di tingkat petani berdampak langsung terhadap
keuntungan usahatani padi.
Di tingkat konsumen,
kebijakan perberasan dengan penetapan HPP juga dinilai cukup efektif
mengendalikan harga beras dalam negeri. Pada Januari 2008, dunia
internasional sedang mengalami krisis pangan yang menyebabkan harga
komoditas pangan penting seperti beras, jagung, kedelai dan gandum
melonjak tajam. Melonjaknya harga beras dunia pada periode tersebut
tidak mempengaruhi harga beras dalam negeri.
Sebagai contoh pada Gambar 2, terlihat
bahwa harga beras dalam negeri varietas IR-I di Pasar Beras Induk
Cipinang (PIBC) cenderung stabil, walaupun harga beras Thai bergejolak
tinggi sejak Maret 2008 pada kisaran 5 persen. Tingkat fluktuasi harga
beras Thai juga lebih besar 5 persen dibandingkan harga beras dalam
negeri. Hal ini menunjukkan kebijakan HPP gabah/beras dapat membantu
stabilisasi harga di dalam negeri akibat perubahan harga gabah/beras
internasional.
- 2. Stabilisasi Harga Kedelai (SHK)
Kedelai merupakan salah satu komoditas
pangan yang sangat strategis karena merupakan bahan baku tahu dan tempe
yang merupakan sumber lauk-pauk utama sebagian besar penduduk Indonesia.
Bahkan pada tahun 60-an, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa tempe,
karena tingginya konsumsi masyarakat pada komoditas tempe.
Kebutuhan kedelai dari tahun ke tahun
semakin meningkat, namun Indonesia mengalami berbagai permasalahan
seperti ketersediaan dalam negeri yang belum mencukupi, rata-rata baru
mencapai sekitar 40 persen sehingga untuk memenuhi kekurangannya melalui
impor. Selain itu, tata niaga kedelai yang didominasi pengusaha
importir sering berdampak pada instabilitas harga kedelai di tingkat
masyarakat, baik produsen dalam hal ini pengrajin tahu dan tempe, maupun
konsumen atau masyarakat luas. Ketergantungan kedelai terhadap produk
impor juga berpengaruh terhadap harga di dalam negeri akibat fluktuasi
harga kedelai di pasar internasional. Kondisi tersebut menyebabkan
kedelai berpengaruh terhadap perubahan inflasi.
Selama periode 2002-2012, harga kedelai
dalam negeri baik kedelai lokal ataupun kedelai eks-impor terus
mengalami kenaikan dari tahun ke tahun dengan perubahan kenaikan sekitar
11,46 persen per tahun seperti terlihat pada Gambar 3. Lonjakan
kenaikan harga kedelai yang sangat signifikan terjadi pada tahun 2008,
sebesar 58,41 persen dari Rp 5.389/kg menjadi Rp 8.536/kg, yang
diakibatkan kenaikan harga kedelai di pasar internasional sebesar 48,16
persen.
Melihat berbagai permasalahan seperti di
atas, pemerintah harus mengambil langkah-langkah penanganan terhadap
stabilitas dan pengendalian harga kedelai agar ketersediaan dan
fluktuasi harga kedelai tidak menganggu stabilitas masyarakat. Seperti
kejadian tahun 2008, untuk menurunkan harga kedelai dalam negeri,
pemerintah membebaskan kebijakan bea masuk kedelai impor pada tahun 2008
dan menggalakan petani untuk menanam kedelai dengan memberikan subsidi.
Mengingat kedelai merupakan komoditas
strategis, dan banyaknya permasalahan dalam penanganannya, sejak tahun
2002 pemerintah telah berupaya untuk menjaga stabilitas harga kedelai.
Pada tahun 2003 pemerintah telah menargetkan untuk tahun 2006 tidak akan
melakukan impor kedelai terutama untuk kebutuhan industri, namun harus
dipenuhi dari dalam negeri agar harga jual kedelai petani tidak jatuh.
Untuk melindungi produsen lokal agar harga kedelai lebih murah, pada
Tahun 2005 bea masuk kedelai impor ditetapkan 10 persen, jauh lebih
rendah dari usulan sekitar 30 persen.
Pada Tahun 2008, pemerintah mengeluarkan
kebijakan untuk menekan gejolak harga kedelai impor, yaitu bea masuk
dibebaskan, PPh impor turun dari 2,5 persen ke 0,5 persen, dan pemberian
subsidi bagi bahan baku kedelai Rp 1.000/kg selama 6 bulan. Selain itu,
mengingat produksi nasional kedelai masih rendah, pemerintah
menargetkan alokasi dana Rp 1 triliun bagi pengembangan kedelai nasional
yang akan digunakan untuk peningkatan produksi nasional kedelai menjadi
1 juta ton, dan pemberian bibit paritas unggul pagi petani.
Sampai tahun 2012 , produksi kedelai
dalam negeri masih belum mencukupi kebutuhan nasional, sehingga
pemenuhanya dilakukan melalui impor. Namun demikian, kebijakan tersebut
berdampak pada gejolak harga di tingkat masyarakat. Harga jual kedelai
petani biasanya anjlok pada saat panen raya akibat harga kedelai impor
yang jauh lebih murah. Sedangkan pada saat tidak panen, harga jual
kedelai ke pengrajin sangat mahal sehingga berdampak pada naiknya harga
tahu dan tempe yang ujungnya berdampak pada terganggunya daya beli
masyarakat.
Badan Ketahanan Pangan khususnya Pusat
Distribusi dan Cadangan Pangan berperan cukup besar dalam upaya
pemerintah untuk mestabilkan harga kedelai, antara lain melalui
penyediaan informasi perkembangan harga kedelai tingkat produsen, harga
kedelai di tingkat konsumen, harga internasional, neraca ketersediaan
dan kebutuhan kedelai, serta analisis usaha tani kedelai. Informasi
tersebut merupakan bahan untuk mengambil kebijakan stabilisasi harga
kedelai, seperti untuk merekomendasikan impor dan distribusi kedelai ke
daerah-daerah yang kekurangan. Selain itu, peran BKP juga terlihat
melalui pertemuan dan koordinasi dengan unit kerja terkait untuk
memantau pergerakan harga serta ketersediaan dan kebutuhan kedelai.
Pada Tahun 2013, Pemerintah mengeluarkan
kebijakan Program Stabilisasi Harga Kedelai (Program SHK) yang
bertujuan untuk stabilisasi harga kedelai di tingkat petani dan di
tingkat pengrajin secara bersamaan. Hal ini dilakukan mengingat sejak
bulan Agustus 2012, harga kedelai dalam negeri melonjak tinggi dan sulit
dikendalikan sehingga menimbulkan gejolak dimasyarakat. Badan Ketahanan
Pangan Kementerian Pertanian terlibat langsung dalam penyusunan
kebijakan Program SHK, dari mulai proses penyusunan peraturan, hingga
mekanisme pelaksanaan kebijakan, termasuk di dalamnya dalam penentuan
harga beli kedelai di tingkat petani.
Selain menyediakan informasi, BKP juga
melaksanakan berbagai rapat koordinasi teknis mengenai Kebijakan Harga
Pembelian dan Penjualan Pemerintah Komoditas Kedelai, seperti yang
dilaksanakan pada tanggal 20 September 2012 di Bogor yang dihadiri oleh
wakil-wakil dari Kedeputian II Bidang Koordinasi Pertanian dan Kelautan
Kemenko Bidang Perekonomian; Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam
Negeri, Kementerian Perdagangan; Badan Pengkajian dan Pengembangan
Kebijakan Perdagangan, Kemendag; Direktorat Jenderal Tanaman Pangan,
Kementan; Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan dan Pertanian, Kementan.
Kebijakan SHK ditetapkan pada tanggal 28
Mei 2013 melalui Peraturan Menteri Perdagangan No.23/2013 tentang
program Stabilisasi Harga Kedelai yang merupakan implementasi dari
Perpres No.32/2013 tentang Penugasan Kepada Perum Bulog untuk Pengamanan
Harga dan Penyaluran Kedelai. Melalui program stabilisasi harga
kedelai, pemerintah berupaya mengatur tata niaga kedelai melalui
pembelian kedelai petani dengan harga tertentu sehingga petani mendapat
keuntungan yang layak, dan menjual kedelai kepada pengrajin tahu/tempe
dengan harga tertentu sehingga harga jual produk terjangkau masyarakat.
Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan ini, pemerintah juga telah
mengeluarkan peraturan tentang Penetapan Harga Pembelian/Penjualan
Kedelai Petani melalui Permendag No.25/2013 dimana Badan Ketahanan
Pangan juga terlibat dalam penyusunannya.
Di dalam Program SHK, Harga Pembelian
Kedelai Petani yang selanjutnya disebut HBP Kedelai adalah harga acuan
pembelian kedelai di tingkat petani yang ditetapkan sebesar Rp 7.000/kg.
HBP kedelai tersebut berlaku untuk masa panen raya triwulan III periode
1 Juli sampai dengan 30 September 2013. Sementara harga penjualan
kedelai di tingkat pengrajin tahu/tempe disebut HJP kedelai berlaku 1
bulan, ditetapkan sebesar Rp 7.450/kg berlaku untuk bulan Juli 2013, dan
Rp.7.700/kg untuk bulan Agustus 2013, dan akan ditinjau kembali untuk
bulan selanjutnya. Apabila masa berlaku telah lewat, tetapi penetapan
HJP yang baru belum ditetapkan, maka HJP kedelai yang berlaku masih
sama dengan harga sebelumnya. Untuk menentukan besaran HBP dan HJP,
Badan Ketahanan Pangan sebagai salah satu anggota Tim Program SHK ikut
terlibat langsung dalam rapat atau forum Tim SHK yang dikoordinisi oleh
Kementerian Perdagangan.
- 3. Prognosa Kebutuhan dan Ketersediaan Pangan
Upaya penyediaan pangan memerlukan
perencanaan yang matang dimulai dari perencanaan produksi, pengolahan,
sampai dengan distribusinya. Upaya tersebut memerlukan waktu dan proses
yang panjang serta melibatkan banyak pihak. Berkaitan dengan tugas pokok
Badan Ketahanan Pangan (BKP) sebagai salah satu instansi yang menangani
urusan/bidang ketahanan pangan, maka BKP mempunyai tanggung jawab dalam
mengkoordinasikan penyusunan prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan
sejak awal tahun dengan berbagai pihak terkait, terutama dengan
Direktorat Teknis lingkup Kementerian Pertanian. Penyusunan prognosa
tersebut harus dilakukan secara tepat dan akurat agar perencanaan dan
kebijakan yang diambil juga tepat sasaran dan merupakan kebijakan
Kementerian Pertanian.
Prognosa kebutuhan dan ketersediaan
pangan sudah dimulai BKP sejak tahun 2002. Prognosa tersebut merupakan
informasi tentang kondisi kebutuhan dan ketersediaan pangan yang disusun
dalam format bulanan. Pada awalnya penyusunan prognosa bertujuan untuk
sosialisasi dan informasi perkiraan kondisi ketersediaan dan kebutuhan
pangan menjelang Hari-hari Besar Keagamaan dan Nasional (HBKN). Bagi
masyarakat, informasi tersebut diharapkan dapat dijadikan acuan untuk
mengantisipasi, mencari alternatif bahan pangan dan mengatur tingkat
konsumsi dalam mengatasi kebutuhan pangan yang relatif meningkat pada
periode menjelang HBKN. Bagi pemerintah, informasi tersebut diperlukan
untuk mengambil langkah-langkah antisipasi menjaga stabilitas pasokan
bahan pangan pokok dalam menghadapi HBKN agar volumenya mencukupi dengan
harga yang tidak melonjak terlalu tinggi. Dengan berjalannya waktu,
penyusunan prognosa mempunyai tujuan yang lebih luas lagi yaitu prognosa
kebutuhan dan ketersediaan pangan dijadikan acuan dalam menentukan
sasaran produksi, penyediaan pasokan impor, dan perumusan
langkah-langkah antisipasi pemenuhan kebutuhan selama 1 (satu) tahun.
Selama tahun 2005-2010, perhitungan
prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan dilakukan pada 9 komoditas
strategis yang pada hari-hari besar keagamaan mengalami gejolak harga
dan mengalami peningkatan kebutuhan konsumen, yaitu beras, kacang tanah,
gula pasir, minyak goreng, cabai merah, bawang merah, daging sapi,
daging ayam dan telur ayam. Pada tahun 2011, meningkat menjadi 10
komoditas dengan penambahan komoditas jagung, dan mulai tahun 2012
menjadi 12 komoditas dengan penambahan kedelai dan cabai (cabai rawit
dan cabai besar), seperti terlihat pada Tabel ....
Dalam beberapa tahun terakhir ini,
prognosa kebutuhan dan ketersediaan bahan pangan sudah menjadi bahan
utama dalam rapat koordinasi kebijakan stabilisasi harga pangan, baik
dalam rapat teknis maupun rapat terbatas di Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian. Selain itu, prognosa kebutuhan dan ketersediaan
pangan juga menjadi acuan dalam pemberian rekomendasi impor oleh
Kementerian Pertanian yang digunakan untuk memperoleh surat penerbitan
impor (SPI) oleh Kementerian Perdagangan.
Penyusunan prognosa kebutuhan dan
ketersediaan pangan pokok minimal disusun berdasarkan kebutuhan dan
angka sasaran produksi (prognosa I). Selanjutnya prognosa tersebut akan
dievaluasi dan disempurnakan sesuai dengan perubahan angka prognosa
produksi (BPS), angka realisasi produksi (Ditjen teknis), ekspor dan
impor. Beberapa tahapan penyusunan prognosa, yaitu: (a) Revisi I:
Prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan yang didasarkan pada prognosa
produksi BPS (Maret-April); (b) Revisi II: Prognosa kebutuhan dan
ketersediaan pangan yang didasarkan pada ARAM I BPS (Juli-Agustus); dan
(c) Revisi III: Prognosa kebutuhan dan ketersediaan pangan yang
didasarkan pada ARAM II BPS (November).
- 4. Pemantauan Harga Hari-Hari Besar Keagamaan dan Nasional/HBKN
Indonesia adalah Negara yang sangat
beragam, baik dari aspek budaya, sosial dan agama, serta pendirian
bangsa yang penuh dengan latar belakang historis. Hal tersebut
menyebabkan banyaknya hari-hari besar keagamaan dan nasional (HBKN)
seperti Puasa, Idul Fithri, Idul Adha, Natal dan lainnya. Kultur budaya
sebagian besar masyarakat Indonesia dalam menyambut dan merayakan HBKN
umumnya membutuhkan bahan pangan dalam jumlah yang lebih banyak
dibanding hari biasa. Kondisi ini menyebabkan tidak seimbangnya
permintaan masyarakat dengan ketersediaan yang ada dalam periode
tertentu. Hal tersebut mengakibatkan fluktuasi harga yang cukup tinggi
pada hampir semua komoditas pangan.
Sejak tahun 2002-2012, secara umum
kondisi harga pangan nasional cenderung berfluktuasi dan naik setiap
tahunnya. Fluktuasi harga disebabkan adanya kenaikan permintaan
menjelang HBKN seperti Idul Fitri, Idul Adha dan Natal, serta dampak
dari kenaikan harga di pasar internasional. Kebijakan pemerintah seperti
kenaikan harga BBM juga berpengaruh terhadap instabilitas harga.
Sebagai contoh, pada pertengah tahun 2012 terjadi kenaikan harga BBM
pada saat menjelang bulan puasa. Hal ini berdampak pada peningkatan
harga bahan pangan pada hampir semua komoditas, terutama cabai, bawang
merah, dan daging sapi yang membuat gejolak di masyarakat.
Pemerintah sudah mengantisipasi gejolak
harga pada saat dan menjelang HBKN antara lain melalui pemantauan harga
di pasar-pasar, baik pasar modern maupun tradisional untuk mengetahui
kondisi riil serta upaya antisipasi kenaikan harga pangan. Badan
Ketahanan Pangan sebagai bagian dari pemerintah juga ikut terlibat dalam
kegiatan tersebut, antara lain melakukan Kunjungan Kerja lapangan baik
Menteri Pertanian maupun Kepala Badan. Dari hasil kunjungan kerja
lapangan akan diperoleh data dan informasi yang riil di tingkat
masyarakat sehingga bisa diambil langkah-langkah kebijakan untuk
mengantisipasi atau mengendalikan gejolak harga.
Sumber : http://bkp.deptan.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari budayakan berkomentar baik