Pangan
adalah kebutuhan paling mendasar bagi kehidupan, tak ada pangan maka tak akan
ada kehidupan. Bahkan pangan juga bisa menjadi pedang yang paling tajam
didunia, karena urgensinya yang mutlak. Soekarno pernah berkata “barang siapa
menguasai benih dia akan menguasai pangan dan barang siapa menguasai pangan,
dia akan menguasai dunia”. Dalam kehidupan bernegara, kebijakan atas pangan
dapat dijadikan tolok ukur, sejauhmana peran negara atas pemenuhan hak dasar
warganya. Terkait dengan kebijakan negara atas pangan, pemerintah Indonesia
sudah mengeluarkan UU Pangan Nasional yang berlandaskan atas konsepsi ketahanan
pangan. Pada dasarnya kebijakan ini dikeluarkan untuk menjaga keberlangsungan
ketersediaan pangan nasional. Namun kebijakan yang disahkan pada 18 Oktober
2012 ini belum mampu menjawab persoalan pangan saat ini.
Revisi
UU Pangan No. 7 Tahun 1996 ini dipandang terlalu memihak pada kebutuhan pasar
dan mengenyampingkan hak-hak petani. UU Pangan yang baru seyogyanya menjadi
pedoman bagi persoalan pangan nasional. Kebijakan ini berpijak pada konsepsi
ketahanan pangan yang dinilai kurang akomodatif bagi pelaku produksi pangan
nasional. Jika mengacu pada UU Pangan No. 7 Tahun 1996, konsep ketahanan pangan
merujuk pada kemampuan negara untuk memenuhi ketersediaan pangan yang cukup,
aman, merata, dan terjangkau. Perihal darimana stok pangan didapat, dengan cara
apa produksi pangan tersebut dihasilkan, tidak dibahas lebih lanjut dalam
kebijakan ini. Dengan kata lain, negara dinyatakan aman apabila mampu memenuhi
kebutuhan pangannya tanpa harus memproduksi sendiri. Artinya, negara
diperbolehkan untuk menggantungkan pemenuhan kebutuhan pangannya terhadap
negara lain. Hal mana yang menegaskan kebijakan impor pangan bukan merupakan
suatu masalah dan produksi pangan nasional tidak menjadi perhatian utama.
UU
Pangan Nasional yang diimplementasikan pemerintah ini seakan mengenyampingkan
pembacaan untuk menjaga keberlangsungan produksi pangan nasional. Alih-alih
untuk menjaga ketersediaan pangan nasional, ketahanan pangan berpretensi kuat
menjadi pintu masuk liberalisasi pangan nasional.
Perubahan
atas UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan UU Pangan yang disahkan oleh DPR
tidak memberikan standar dan indikator yang jelas perihal hak atas pangan.
Kewajiban negara terkait pangan pun serupa, tidak ada aturan yang menegaskan
peran negara untuk memenuhi hak warganegara atas pangan. Reforma agraria yang
menjadi agenda utama perjuangan di sektor pangan memang disinggung dalam UU
ini, namun tidak ada aturan yang menjamin terjadinya tanggung gugat jika
terjadi pelanggaran hak rakyat atas pangan.
Meski
dalam beberapa kesempatan pemerintah memebri penjelasan bahwa UU Pangan 2012
merupakan upaya untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan ketahanan pangan, pada
kenyataannya UU tersebut lebih berpijak pada konsep ketahanan pangan. Sejak
awal, konsep kedaulatan pangan sudah didengungkan sebagai anti tesis dari
konsepsi ketahanan pangan. Sekilas terdapat kemiripan dalam dua istilah
tersebut, namun keduanya memliiki perbedaan yang sangat signifikan.
Ketahanan
pangan merujuk pada kebijakan distribusi pangan yang disesuaikan dengan kondisi
dan kebutuhan pasar, sementara kedaulatan pangan lebih menekankan pada pemenuhan
kebutuhan hak-hak dasar rakyat atas pangan, termasuk di dalamnya keberpihakan
terhadap pelau produksi pangan seperti petani, nelayan, dan pembudidaya ikan.
Kedaulatan pangan tidak sekedar sebagai pilihan kebijakan semata, namun juga
pendekatan berbasis hak.
Satu
hal yang juga sangat disayangkan dari UU Pangan ini adalah, liberalisasi sektor
produksi pertanian yang mengancam keberlangsungan petani, nelayan, dan sektor
produksi pangan lokal. Pada Pasal 17 dari UU Pangan 2012 disebutkan bahwa
pelaku usaha pangan dikategorikan sebagai produsen bersama dengan petani,
nelayan, dan pembudidaya ikan. Hal ini jelas menjadi ancaman bagi pelaku
produksi pangan. Aturan tersebut memaksa pelaku produksi pangan untuk bersaing
dengan para pelaku usaha yang memiliki kapasitas modal lebih mapan. Kesamaan
posisi tersebut membuat peluang pelaku usaha dengan kapasitas modalnya memonopoli
hasil produksi pangan.
Kebijakan
pangan adalah kebijakan yang memiliki pengaruh besar bagi hampir setiap
aktivitas kehidupan. Jika ditilik lebih dalam, UU Pangan 2012 ini merupakan
pembiaran terhadap ketidakberdayaan Indonesia dalam menghadapi liberalisasi
pangan yang kian gencar terjadi. Membiarkan modal asing masuk dalam sektor
pangan hingga ranah produksi sama dengan membiarkan sokoguru negeri ini
tergadai demi kepentingan dan kebutuhan pasar.
penulisnya siapa bung?
BalasHapusterima kasih telah menerbitkan artikel ini
BalasHapus