Minggu, 04 Agustus 2013

Inkonsistensi Dalam UU No 18 Tahun 2012 Tentang Pangan Part II



Pangan adalah kebutuhan paling mendasar bagi kehidupan, tak ada pangan maka tak akan ada kehidupan. Bahkan pangan juga bisa menjadi pedang yang paling tajam didunia, karena urgensinya yang mutlak. Soekarno pernah berkata “barang siapa menguasai benih dia akan menguasai pangan dan barang siapa menguasai pangan, dia akan menguasai dunia”. Dalam kehidupan bernegara, kebijakan atas pangan dapat dijadikan tolok ukur, sejauhmana peran negara atas pemenuhan hak dasar warganya. Terkait dengan kebijakan negara atas pangan, pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan UU Pangan Nasional yang berlandaskan atas konsepsi ketahanan pangan. Pada dasarnya kebijakan ini dikeluarkan untuk menjaga keberlangsungan ketersediaan pangan nasional. Namun kebijakan yang disahkan pada 18 Oktober 2012 ini belum mampu menjawab persoalan pangan saat ini.
Revisi UU Pangan No. 7 Tahun 1996 ini dipandang terlalu memihak pada kebutuhan pasar dan mengenyampingkan hak-hak petani. UU Pangan yang baru seyogyanya menjadi pedoman bagi persoalan pangan nasional. Kebijakan ini berpijak pada konsepsi ketahanan pangan yang dinilai kurang akomodatif bagi pelaku produksi pangan nasional. Jika mengacu pada UU Pangan No. 7 Tahun 1996, konsep ketahanan pangan merujuk pada kemampuan negara untuk memenuhi ketersediaan pangan yang cukup, aman, merata, dan terjangkau. Perihal darimana stok pangan didapat, dengan cara apa produksi pangan tersebut dihasilkan, tidak dibahas lebih lanjut dalam kebijakan ini. Dengan kata lain, negara dinyatakan aman apabila mampu memenuhi kebutuhan pangannya tanpa harus memproduksi sendiri. Artinya, negara diperbolehkan untuk menggantungkan pemenuhan kebutuhan pangannya terhadap negara lain. Hal mana yang menegaskan kebijakan impor pangan bukan merupakan suatu masalah dan produksi pangan nasional tidak menjadi perhatian utama.
UU Pangan Nasional yang diimplementasikan pemerintah ini seakan mengenyampingkan pembacaan untuk menjaga keberlangsungan produksi pangan nasional. Alih-alih untuk menjaga ketersediaan pangan nasional, ketahanan pangan berpretensi kuat menjadi pintu masuk liberalisasi pangan nasional.
Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan UU Pangan yang disahkan oleh DPR tidak memberikan standar dan indikator yang jelas perihal hak atas pangan. Kewajiban negara terkait pangan pun serupa, tidak ada aturan yang menegaskan peran negara untuk memenuhi hak warganegara atas pangan. Reforma agraria yang menjadi agenda utama perjuangan di sektor pangan memang disinggung dalam UU ini, namun tidak ada aturan yang menjamin terjadinya tanggung gugat jika terjadi pelanggaran hak rakyat atas pangan.
Meski dalam beberapa kesempatan pemerintah memebri penjelasan bahwa UU Pangan 2012 merupakan upaya untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan ketahanan pangan, pada kenyataannya UU tersebut lebih berpijak pada konsep ketahanan pangan. Sejak awal, konsep kedaulatan pangan sudah didengungkan sebagai anti tesis dari konsepsi ketahanan pangan. Sekilas terdapat kemiripan dalam dua istilah tersebut, namun keduanya memliiki perbedaan yang sangat signifikan.
Ketahanan pangan merujuk pada kebijakan distribusi pangan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pasar, sementara kedaulatan pangan lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan hak-hak dasar rakyat atas pangan, termasuk di dalamnya keberpihakan terhadap pelau produksi pangan seperti petani, nelayan, dan pembudidaya ikan. Kedaulatan pangan tidak sekedar sebagai pilihan kebijakan semata, namun juga pendekatan berbasis hak.
Satu hal yang juga sangat disayangkan dari UU Pangan ini adalah, liberalisasi sektor produksi pertanian yang mengancam keberlangsungan petani, nelayan, dan sektor produksi pangan lokal. Pada Pasal 17 dari UU Pangan 2012 disebutkan bahwa pelaku usaha pangan dikategorikan sebagai produsen bersama dengan petani, nelayan, dan pembudidaya ikan. Hal ini jelas menjadi ancaman bagi pelaku produksi pangan. Aturan tersebut memaksa pelaku produksi pangan untuk bersaing dengan para pelaku usaha yang memiliki kapasitas modal lebih mapan. Kesamaan posisi tersebut membuat peluang pelaku usaha dengan kapasitas modalnya memonopoli hasil produksi pangan.
Kebijakan pangan adalah kebijakan yang memiliki pengaruh besar bagi hampir setiap aktivitas kehidupan. Jika ditilik lebih dalam, UU Pangan 2012 ini merupakan pembiaran terhadap ketidakberdayaan Indonesia dalam menghadapi liberalisasi pangan yang kian gencar terjadi. Membiarkan modal asing masuk dalam sektor pangan hingga ranah produksi sama dengan membiarkan sokoguru negeri ini tergadai demi kepentingan dan kebutuhan pasar.



Referensi : Kompasiana.com

2 komentar:

Mari budayakan berkomentar baik