Kamis, 01 Agustus 2013

Inkonsisten Dalam UU No 18 Tahun 2012 Tentang Pangan

Undang-undang No 18 Tahun 2012 Tentang Pangan yang disahkan pada bulan Oktober 2012 lalu merupakan revisi dari Undang-Undang  Pangan No.7/1996. Revisi undang-undang yang dilakukan tentu bertujuan agar bisa mengatasi problem nasional di bidang  pangan yang memang sudah berada pada kategori problem krusial. Namun harus disayangkan undang-undang tersebut harus dilemahkan beberapa pasal. Hal ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu kamuflase untuk membuka gerbang liberisasi perdagangan pangan yang sebenarnya belum siap bagi Indonesia untuk menghadapinya.
        Pasal-pasal yang melemahkan undang-undang tersebut seperti yang terdapat pada pasal 36 ayat 1dan 2 yang berbunyi “ (1). Impor Pangan hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri. (2) Impor Pangan Pokok hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional tidak mencukupi. Kalimat pada ayat 1 jika disederhanakan lagi, kalimatnya adalah “Jika Indonesia tidak dapat memproduksi pangan maka solusinya adalah import” kalimat ini jelas merupakan representasi paradigm yang pragmatis yang dapat dikatakan sangat kontradiksi dengan paradigm UU tersebut yang merupakan kedaulatan pangan. Negara Indonesia tentu memiliki banyak komoditas pangan yang berbeda dan memiliki system pertanian yang benar-benar berbeda dengan Negara-negara lain terutama Negara Eropa. Hal ini lah sebagai alasan yang memudahkan Negara-negara lain membanjiri Indonesia dengan produk-produk luar. Disini tidak terdapat upaya yang akan dilakukan pemerintah untuk mengatasi produk yang tidak dapat diproduksi negri contohny dengan menggantikannya dengan komoditas lain yang merupakan produksi local. Sejauh ini produk-produk yang diimport seperti yang dijelaskan pada ayat 1 tersebut telah menjadi pesaing terhadap produk-produk local yang berdaya saing rendah.
Pada ayat 2 juga tidak terdapat upaya yang akan dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi cadangan pangan nasional. Pemerintah seolah-olah telah mereduksi solusi yang tersedia dengan hanya mengandalkan impor dan setiap permasalahan pangan solusinya hanyalah semata-mata import. Bukan tidak mungkin hal ini dikatakan sebagai representasi pemerintah Indonesia yang malas dan hany menyukai solusi-solusi instant tanpa memikirkan dampak yang sangat tidak baik bagi petani local.
Praktek-praktek instan seperti ini begitu banyak dilakukan oleh pemerintah dinegri ini, salah satu contoh konkritnya adalah terkait impor daging yang baru-baru ini dilakukan pemerintah untuk mencukupi permintaan yang meningkat mendekati lebaran yang memang terjadi setiap tahunnya. Peningkatan permintaan akan pangan pada bulan mendekati lebaran terjadi setiap tahunnya, namun solusi yang diberikan pemerintah setiap tahunnya juga solusi yang sama, yaitu import. Pemerintah sangat sadar hal seperti ini terjadi setiap tahunnya, harusnya pemerintah melakukan upaya untuk mengatasi hal ini salah staunya dengan membuka lahan-lahan peternakan sehingga ketika lebaran akan tiba produksi local tetap mampu memasok kebutuhan pasar domestic tanpa harus melakukan impor atau setidakya menekan angka impor daging. Dampak buruk dari hal-hal seperti ini adalah terhadap pedagang local yang tidak mampu bersaing dengan produk luar, salah satunya adalah masalah harga, dimana harga produk impor selalu lebih rendah dari harga produk local.
Hal lain adalah seperti yang terdapat pada pasal 37 ayat 1 yang berbunyi Impor Pangan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri wajib memenuhi persyaratan keamanan, mutu, Gizi, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat.” Pada pasal ini disebutkan impor yang dilakukan wajib memenuhi persyaratan seperti yang terdapat pada ayat tersebut. Namun, selama ini tidak ada standar baku pangan impor yang ditetapkan pemerintah baik dari segi keamanan, mutu, gizi dan budaya. Selama ini produk impor dapat masuk dengan begitu bebas ke Indonesia tanpa adanya uji laboratorium yang dilakukan pemerintah, melainkan hanya memeriksa kelengkapan dokumen saja yang tentu sangat tidak ada korelasinya dengan keamanan, gizi dan mutu dari pangan tersebut.
Pasal lain terdapat pada pasal 39 yang berbunyi Pemerintah menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan yang tidak berdampak negatif terhadap keberlanjutan usaha tani, peningkatan produksi, kesejahteraan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil”. Pada ayat ini sama sekali tidak disebutkan atau dijelaskan bagaimana peran control dari masyarakat atau petani terhadap kebijakan tersebut.
Pasal lainnya terdapat pada pasal 77 tentang rekayasa genetika “(1) Setiap Orang dilarang memproduksi Pangan yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum mendapatkan persetujuan Keamanan Pangan sebelum diedarkan. (2) Setiap Orang yang melakukan kegiatan atau proses Produksi Pangan dilarang menggunakan bahan baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum mendapatkan persetujuan Keamanan Pangan sebelum diedarkan. (3) Persetujuan Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan oleh Pemerintah. (4) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh persetujuan Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah”. Kebijakan ini sepertinyanya dikeluarkan untuk memperkuat pengembangan rekayasa genetika di Indonesia setelah sebelumnya pada awal Oktober, pemerintah dalam hal ini Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik meloloskan sejumlah benih transgenik produk asing yaitu jagung transgenik NK 603 dan MON 89034 milik Monsanto. Padahal kedua jenis ini ditujukan untuk kebutuhan pangan manusia. Sementara di sisi lain kreativitas dan keahlian para petani pemulia benih lokal terus menghadapi hambatan dan tantangan yang bahkan berujung pada kriminalisasi petani.
Dalam UU Pangan yang baru ini juga menyebutkan mengenai kelembagaan pangan. Kelembagaan pangan mengindikasikan kontrol yang kuat atas sistem pangan mulai dari tingkat nasional hingga desa sebagai cara untuk memastikan tercapainya kedaulatan pangan, kemandirian pangan dan ketahanan pangan. Inisiatif kelembagaan pangan ini tentu dapat dikatakan cukup positif, namun hal ini membutuhkan koordinasi antar lembaga yang sangat kuat. Lebih dari itu lembaga pangan tersebut harus mempunyai satu fungsi pelayanan publik saja, bukan dualisme antara fungsi public service obligation dan komersial atau bisnis sebagaimana yang diterapkan oleh Bulog selama ini.
Dalam realisasinya, kedaulatan pangan akan terwujud jika petani sebagai penghasil pangan memiliki, menguasai dan mengkontrol alat-alat produksi pangan seperti tanah, air, benih dan teknologi. Hal ini sejalan dengan pembangunan pedesaan yang disokong oleh sektor pertanian untuk memperkuat kondisi pangan lokal. Baru setelah itu dibangun sektor non pertanian yang tetap berbasiskan pada sektor pertanian dengan pengelolaan  sistem ekonomi pedesaan yang mandiri dan berkelanjutan dan berdasarkan perekonomian rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari budayakan berkomentar baik