Undang-undang
No 18 Tahun 2012 Tentang Pangan yang disahkan pada bulan Oktober 2012 lalu
merupakan revisi dari Undang-Undang
Pangan No.7/1996. Revisi undang-undang
yang dilakukan tentu bertujuan agar bisa mengatasi problem nasional di
bidang pangan yang memang sudah berada pada kategori problem krusial. Namun
harus disayangkan undang-undang tersebut harus dilemahkan beberapa pasal. Hal ini
juga dapat dikatakan sebagai salah satu kamuflase untuk membuka gerbang
liberisasi perdagangan pangan yang sebenarnya belum siap bagi Indonesia untuk
menghadapinya.
Pasal-pasal yang melemahkan
undang-undang tersebut seperti yang terdapat pada pasal 36 ayat 1dan 2 yang
berbunyi “ (1). Impor Pangan hanya
dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau
tidak dapat diproduksi di dalam negeri. (2) Impor Pangan Pokok hanya dapat
dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional
tidak mencukupi. Kalimat
pada ayat 1 jika disederhanakan lagi, kalimatnya adalah “Jika Indonesia tidak
dapat memproduksi pangan maka solusinya adalah import” kalimat ini jelas
merupakan representasi paradigm yang pragmatis yang dapat dikatakan sangat
kontradiksi dengan paradigm UU tersebut yang merupakan kedaulatan pangan. Negara
Indonesia tentu memiliki banyak komoditas pangan yang berbeda dan memiliki system
pertanian yang benar-benar berbeda dengan Negara-negara lain terutama Negara Eropa.
Hal ini lah sebagai alasan yang memudahkan Negara-negara lain membanjiri
Indonesia dengan produk-produk luar. Disini tidak terdapat upaya yang akan
dilakukan pemerintah untuk mengatasi produk yang tidak dapat diproduksi negri
contohny dengan menggantikannya dengan komoditas lain yang merupakan produksi local.
Sejauh ini produk-produk yang diimport seperti yang dijelaskan pada ayat 1
tersebut telah menjadi pesaing terhadap produk-produk local yang berdaya saing
rendah.
Pada
ayat 2 juga tidak terdapat upaya yang akan dilakukan pemerintah untuk
mengantisipasi cadangan pangan nasional. Pemerintah seolah-olah telah mereduksi
solusi yang tersedia dengan hanya mengandalkan impor dan setiap permasalahan
pangan solusinya hanyalah semata-mata import. Bukan tidak mungkin hal ini
dikatakan sebagai representasi pemerintah Indonesia yang malas dan hany
menyukai solusi-solusi instant tanpa memikirkan dampak yang sangat tidak baik
bagi petani local.
Praktek-praktek
instan seperti ini begitu banyak dilakukan oleh pemerintah dinegri ini, salah
satu contoh konkritnya adalah terkait impor daging yang baru-baru ini dilakukan
pemerintah untuk mencukupi permintaan yang meningkat mendekati lebaran yang
memang terjadi setiap tahunnya. Peningkatan permintaan akan pangan pada bulan
mendekati lebaran terjadi setiap tahunnya, namun solusi yang diberikan
pemerintah setiap tahunnya juga solusi yang sama, yaitu import. Pemerintah sangat
sadar hal seperti ini terjadi setiap tahunnya, harusnya pemerintah melakukan
upaya untuk mengatasi hal ini salah staunya dengan membuka lahan-lahan
peternakan sehingga ketika lebaran akan tiba produksi local tetap mampu memasok
kebutuhan pasar domestic tanpa harus melakukan impor atau setidakya menekan
angka impor daging. Dampak buruk dari hal-hal seperti ini adalah terhadap
pedagang local yang tidak mampu bersaing dengan produk luar, salah satunya
adalah masalah harga, dimana harga produk impor selalu lebih rendah dari harga
produk local.
Hal lain
adalah seperti yang terdapat pada pasal 37 ayat 1 yang berbunyi “Impor
Pangan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri wajib
memenuhi persyaratan keamanan, mutu, Gizi, dan tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat.” Pada pasal ini disebutkan impor yang
dilakukan wajib memenuhi persyaratan seperti yang terdapat pada ayat tersebut. Namun,
selama ini tidak ada standar baku pangan impor yang ditetapkan pemerintah baik
dari segi keamanan, mutu, gizi dan budaya. Selama ini produk impor dapat masuk
dengan begitu bebas ke Indonesia tanpa adanya uji laboratorium yang dilakukan
pemerintah, melainkan hanya memeriksa kelengkapan dokumen saja yang tentu
sangat tidak ada korelasinya dengan keamanan, gizi dan mutu dari pangan
tersebut.
Pasal
lain terdapat pada pasal 39 yang berbunyi “Pemerintah menetapkan kebijakan dan
peraturan Impor Pangan yang tidak berdampak negatif terhadap keberlanjutan
usaha tani, peningkatan produksi, kesejahteraan Petani, Nelayan, Pembudi Daya
Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil”. Pada ayat ini sama
sekali tidak disebutkan atau dijelaskan bagaimana peran control dari masyarakat
atau petani terhadap kebijakan tersebut.
Pasal
lainnya terdapat pada pasal 77 tentang rekayasa genetika “(1) Setiap Orang dilarang
memproduksi Pangan yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum
mendapatkan persetujuan Keamanan Pangan sebelum diedarkan. (2) Setiap Orang
yang melakukan kegiatan atau proses Produksi Pangan dilarang menggunakan bahan
baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari Rekayasa
Genetik Pangan yang belum mendapatkan persetujuan Keamanan Pangan sebelum
diedarkan. (3) Persetujuan Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diberikan oleh Pemerintah. (4) Ketentuan mengenai tata cara
memperoleh persetujuan Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dalam Peraturan Pemerintah”. Kebijakan ini sepertinyanya
dikeluarkan untuk memperkuat pengembangan rekayasa genetika di Indonesia
setelah sebelumnya pada awal Oktober, pemerintah dalam hal ini Komisi Keamanan
Hayati Produk Rekayasa Genetik meloloskan sejumlah benih transgenik produk
asing yaitu jagung transgenik NK 603 dan MON 89034 milik Monsanto. Padahal
kedua jenis ini ditujukan untuk kebutuhan pangan manusia. Sementara di sisi
lain kreativitas dan keahlian para petani pemulia benih lokal terus menghadapi
hambatan dan tantangan yang bahkan berujung pada kriminalisasi petani.
Dalam
UU Pangan yang baru ini juga menyebutkan mengenai kelembagaan pangan.
Kelembagaan pangan mengindikasikan kontrol yang kuat atas sistem pangan mulai
dari tingkat nasional hingga desa sebagai cara untuk memastikan tercapainya
kedaulatan pangan, kemandirian pangan dan ketahanan pangan. Inisiatif
kelembagaan pangan ini tentu dapat dikatakan cukup positif, namun hal ini
membutuhkan koordinasi antar lembaga yang sangat kuat. Lebih dari itu lembaga
pangan tersebut harus mempunyai satu fungsi pelayanan publik saja, bukan
dualisme antara fungsi public service obligation dan komersial atau bisnis
sebagaimana yang diterapkan oleh Bulog selama ini.
Dalam
realisasinya, kedaulatan pangan akan terwujud jika petani sebagai penghasil
pangan memiliki, menguasai dan mengkontrol alat-alat produksi pangan seperti
tanah, air, benih dan teknologi. Hal ini sejalan dengan pembangunan pedesaan
yang disokong oleh sektor pertanian untuk memperkuat kondisi pangan lokal. Baru
setelah itu dibangun sektor non pertanian yang tetap berbasiskan pada sektor
pertanian dengan pengelolaan sistem ekonomi pedesaan yang mandiri dan berkelanjutan dan berdasarkan perekonomian rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari budayakan berkomentar baik