Berbicara mengenai
Import tentu hal ini sudah menjadi kata yang tidak asing lagi. Setiap hari
mungkin kita bisa mendengarkan kata ini hingga lebih dari sepuluh kali. Saat
ini import telah menjadi persoalan yang sangat krusial, yang mana sangat banyak
produk-produk (dalam hal ini bidang pangan) yang serba import, dan celakanya
lagi masyarakat Indonesia sangat jau lebih bangga dengan produk import ini
dibandingkan dengan produk-produk lokal. Jika dikorelasikan dengan teori
konsumen, memang hal ini bukanlah suatu hal yang salah, karena seorang konsumen
adalah tentu selalu mengabut paham lebih murah dan berkualitas, dan memang hal
inilah yang terjadi, dimana kebanyakan produk-produk import hargaya jauh lebih
murah dan kualitasnya juga lebih baik dibandingkan produk-produk pangan lokal
yang selalu cenderung mahal dan kualitas yang kurang diperhatikan.
Dijaman moderen seperti sekarang ini, masyarakat
Indonesia sudah jauh lebih mengenal makanan-makanan yang ala luar negri,
mungkin seperti jepang, australia, dll. Namun coba saja kita bertanya kepada
beberapa orang, apa makanan khas dari beberapa daerah di Indonesia, pastilah
akan kebingan bahkan nyaris tidak tahu. Hal ini terjadi karena kurangnya
pencitraan terhadap produk—produk pangan lokal yang mempengaruhi atau bahkan
mengurangi daya saing produk lokal Indonesia.
Lalu kenapa indonesia selalu tergantung dengan import?
Jika berbicara mengenai mengapa Indonesia harus selalu tergantung dengan
import, hal yang paling pokok adalah kurangnya pasokan lokal untuk memenuhi
jumlah yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia. Contohnya
seperti kedelai, dimana kebutuhan kedelai Indonesia adalah mencapai 2,5 juta
ton pertahunnya, sementara kedelai lokal hanya mampu memasok sebesar 800.000
ton setiap tahunnya. Melihat keadaan ini tentu Indonesia mutlak harus melakukan
import untuk memasok kekurangan dari pasokan lokal. Maraknya pengalihan fungsi
lahan pertanian menjadi salah satu penyebab dari semakin berkurangnya volume
produk lokal, yang mana hal ini tentu tidak terlepas dari beberap orang
pengusaha yang hanya memikirkan keuntungan semata, tanpa memikirkan dampaknya
yang tidak hanya berdampak kepada kurangnya lahan pertanian, tetapi juga
mendatangkan masalah-masalah lain, seperti terjadinya banjir akibat dari
pembangunan gedung-gedung.
Keadaan ini membuat Indonesia sangat ketergantungan akan
import tanpa harus memikirkan solusi untuk hal ini sehingga terwujud
kemandirian pangan. Hal ini juga tidak terlepas dari sistem regulasi yang
sangat lemah dan juga kurangnya kebijakan pemerintah akan hal ini. Hal ini
ditandai dengan buruknya mekanisasi import yang seluruhnya diserahkan
pemerintah kepada mekanisasi pasar, dan celakanya lagi Indonesia juga harus
melakukan import singkonhg yang dibeberapa daerah hanya terbuang-buang dan
banyak yang hanya menjadi pakan ternak. Selama periode januari hingga oktober
2012, Indonesia telah mengimport singkong sebanyak 774.594 ton dengan nilai
sebesar Rp. 3.3 triliun. Jika saja nilai yang sangat besar ini digunakan untuk
menyerap produk lokal, tentu ini sudah menjadi suatu nilai yang sangat besar
untuk pengusaha atau petani lokal, namun sangat disayangkan pemerintah
sepertinya tidak ingin repot untuk mengumpulkan singkong dari pasar lokal untuk
mencapai volume tersebut, sehingga cara yang paling praktis adalah melakukan
import.
Dalam UU No 18 Tahun 2012 Tentang Pangan
Bab IV Pasal 36 ayat 1 dan 2 telah dijelaskan (1) Impor Pangan hanya dapat dilakukan apabila
Produksi Pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di
dalam negeri. (2) Impor Pangan Pokok hanya dapat dilakukan apabila Produksi
Pangan dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional tidak mencukupi. Namun sepertinya UU ini hanyalah sebuah peraturan
tertulis saja namun tidak untuk pelaksanaanya. Ketika Indonesia kekurangan
persediaan bahan pangan seharusnya pemerintah memikirkan serta menyiapkan
sebuah strategi yang akan menjadi solusi akan hal ini tanpa harus mendahulukan
import, yaitu dengan melakukan perbaikan sistem atau mekanisasi pertanian,
penambahan lahan pertanian serta memperbaiki infrastruktur untuk memudahkan proses
pendistribusian pangan hingga kedaerah-daerah yang terpencil.
Berikut ini adalah data import dan eksport dari Kementrian
Pertanian RI yang sudah saya konversi nilainya kedalam rupiah dan harga per kg
nya:
No
|
Komoditas
|
Ket
|
Volume (kg)
|
Nilai (Rp)
|
Nilai (Rp)/kg
|
1
|
Beras
|
Import
|
1.223.895.701
|
6.555.075.999.976,00
|
5.355,91
|
Eksport
|
949.310
|
10.879.580.145,00
|
11.460,51
|
||
2
|
Gandum
|
Import
|
6.426.345.601
|
22.295.257.956.489,00
|
3.649,36
|
Eksport
|
52.942.078
|
299.342.164.121,00
|
5.654,14
|
||
3
|
Singkong
|
Import
|
774.594.540
|
3.356.844.337.595,00
|
4.333,67
|
Eksport
|
14.702.307
|
66.305.749.993,00
|
4.509,47
|
||
4
|
Kedelai
|
Import
|
1.703.915.985
|
10.189.262.874.777,00
|
5.979,90
|
Eksport
|
31.340.365
|
315.916.477.296,00
|
10.080,17
|
Melihat data diatas memang terdapat
hal yang sedikit janggal dimana disaat Indonesia melakukan import terhadap
berbagai komodity, disaat yang bersamaan pula Indonesia melakukan eksport. Hal ini
tentu hal yang sangat bertentangan, dimana eksport hanya dapat dilakukan jika
sudah terpenuhi kebutuhan pangan nasional seperti hyang dijelaskan dalam UU No
18 Tahun 2012 Tentang Pangan, pada Bab IV Pasal 32 ayat 2 “Ekspor Pangan Pokok hanya dapat
dilakukan setelah terpenuhinya kebutuhan konsumsi Pangan Pokok dan Cadangan
Pangan Nasional”. Hal yang
lebih menarik adalah maslah nilai atau harga, yang mana harga Ekspor beberapa
komoditi jauh lebih tinggi dibandingkan harga import. Jika melihat hal ini,
tentu sudah menjadi alasan yang cukup bagi masyarakat Indonesia untuk lebih
memilih import dibandingkan produk lokal.
Produk lokal yang pada umumnya selalu melambung tinggi
harganya tidak terlepas dari keadaan infrastruktur yang kurang baik sehingga
mempersulit proses distribusi bahan, dan sering kali produk sampai ketangan
konsumen sudah melalui hingga beberapa tangan, sehingga menyebabkan harga
sangat tinggi. Hal ini juga menyebabkan melemhanya pasar produk pangan lokal. Jika
sudah demikian lalu harus bagaimana????
Hal ini tentu bukanlah masalah yang mutlak tak dapat
diatasi, namun sebaliknya hal ini menjadi hal yang mudah jika terbentuk sinergi
dari seluruh elemen, baik pemerintah, pengusaha, petani dan juga masyarakat
Indonesia. Pemerintah tentu harus memperbaiki regulasi dan melakukan pengawasan
atau controling yang serius, sehingga mekanisme pertanian dari hulu sampai
kehilir bahkan hingga ke pasar bisa terjadi dengan baik. Disamping itu
masyarakat juga tentu harus berperan besar terhadap hal ini. Hal yang sering
terjadi adalah, ketika berbicara pangan atau pertanian seringkali terjadi
reduksi pemahaman, yang mana sering kali masyarakat mereduksikan pangan hanya
semata-mata beras. Sebenarnya tidaklah demikian pangan adalah suatu hal yang
sangat kompleks, bahkan tidak terlepas dari berbagai bidang ilmu baik politik,
hukum dan ekonomi bahkan juga sejarah. Sebagai masyarakat Indonesia hal yang
paling pokok yang harus kita lakukan adalah tentu dengan mencintai produk
pangan lokal kita, dengan demikian maka akan meningkatkan citra dan daya saing
dari produk lokal itu sendiri. Disamping itu hal ini akan meningkatkan pasaran
dari produk pangan lokal yang dapat memicu semangat petani lokal untuk
meningkatkan kualitas dari pertanian. Jadi sebagai masyarakat Indonesia, mari
kita sama-sama mencintai produk pangan lokal kita.
Salam Pangan....