Kamis, 28 Februari 2013

Serba Import Membuat Indonesia Lupa Pangan Lokal



             Berbicara mengenai Import tentu hal ini sudah menjadi kata yang tidak asing lagi. Setiap hari mungkin kita bisa mendengarkan kata ini hingga lebih dari sepuluh kali. Saat ini import telah menjadi persoalan yang sangat krusial, yang mana sangat banyak produk-produk (dalam hal ini bidang pangan) yang serba import, dan celakanya lagi masyarakat Indonesia sangat jau lebih bangga dengan produk import ini dibandingkan dengan produk-produk lokal. Jika dikorelasikan dengan teori konsumen, memang hal ini bukanlah suatu hal yang salah, karena seorang konsumen adalah tentu selalu mengabut paham lebih murah dan berkualitas, dan memang hal inilah yang terjadi, dimana kebanyakan produk-produk import hargaya jauh lebih murah dan kualitasnya juga lebih baik dibandingkan produk-produk pangan lokal yang selalu cenderung mahal dan kualitas yang kurang diperhatikan.
            Dijaman moderen seperti sekarang ini, masyarakat Indonesia sudah jauh lebih mengenal makanan-makanan yang ala luar negri, mungkin seperti jepang, australia, dll. Namun coba saja kita bertanya kepada beberapa orang, apa makanan khas dari beberapa daerah di Indonesia, pastilah akan kebingan bahkan nyaris tidak tahu. Hal ini terjadi karena kurangnya pencitraan terhadap produk—produk pangan lokal yang mempengaruhi atau bahkan mengurangi daya saing produk lokal Indonesia.
            Lalu kenapa indonesia selalu tergantung dengan import? Jika berbicara mengenai mengapa Indonesia harus selalu tergantung dengan import, hal yang paling pokok adalah kurangnya pasokan lokal untuk memenuhi jumlah yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia. Contohnya seperti kedelai, dimana kebutuhan kedelai Indonesia adalah mencapai 2,5 juta ton pertahunnya, sementara kedelai lokal hanya mampu memasok sebesar 800.000 ton setiap tahunnya. Melihat keadaan ini tentu Indonesia mutlak harus melakukan import untuk memasok kekurangan dari pasokan lokal. Maraknya pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi salah satu penyebab dari semakin berkurangnya volume produk lokal, yang mana hal ini tentu tidak terlepas dari beberap orang pengusaha yang hanya memikirkan keuntungan semata, tanpa memikirkan dampaknya yang tidak hanya berdampak kepada kurangnya lahan pertanian, tetapi juga mendatangkan masalah-masalah lain, seperti terjadinya banjir akibat dari pembangunan gedung-gedung.
            Keadaan ini membuat Indonesia sangat ketergantungan akan import tanpa harus memikirkan solusi untuk hal ini sehingga terwujud kemandirian pangan. Hal ini juga tidak terlepas dari sistem regulasi yang sangat lemah dan juga kurangnya kebijakan pemerintah akan hal ini. Hal ini ditandai dengan buruknya mekanisasi import yang seluruhnya diserahkan pemerintah kepada mekanisasi pasar, dan celakanya lagi Indonesia juga harus melakukan import singkonhg yang dibeberapa daerah hanya terbuang-buang dan banyak yang hanya menjadi pakan ternak. Selama periode januari hingga oktober 2012, Indonesia telah mengimport singkong sebanyak 774.594 ton dengan nilai sebesar Rp. 3.3 triliun. Jika saja nilai yang sangat besar ini digunakan untuk menyerap produk lokal, tentu ini sudah menjadi suatu nilai yang sangat besar untuk pengusaha atau petani lokal, namun sangat disayangkan pemerintah sepertinya tidak ingin repot untuk mengumpulkan singkong dari pasar lokal untuk mencapai volume tersebut, sehingga cara yang paling praktis adalah melakukan import.
            Dalam UU No 18 Tahun 2012 Tentang Pangan Bab IV Pasal 36 ayat 1 dan 2 telah dijelaskan (1) Impor Pangan hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri. (2) Impor Pangan Pokok hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional tidak mencukupi. Namun sepertinya UU ini hanyalah sebuah peraturan tertulis saja namun tidak untuk pelaksanaanya. Ketika Indonesia kekurangan persediaan bahan pangan seharusnya pemerintah memikirkan serta menyiapkan sebuah strategi yang akan menjadi solusi akan hal ini tanpa harus mendahulukan import, yaitu dengan melakukan perbaikan sistem atau mekanisasi pertanian, penambahan lahan pertanian serta memperbaiki infrastruktur untuk memudahkan proses pendistribusian pangan hingga kedaerah-daerah yang terpencil.
            Berikut ini adalah data import dan eksport dari Kementrian Pertanian RI yang sudah saya konversi nilainya kedalam rupiah dan harga per kg nya:
No
Komoditas
Ket
Volume (kg)
Nilai (Rp)
Nilai (Rp)/kg
1
Beras
Import
1.223.895.701
6.555.075.999.976,00
5.355,91
Eksport
949.310
10.879.580.145,00
11.460,51



2
Gandum
Import
6.426.345.601
22.295.257.956.489,00
3.649,36
Eksport
52.942.078
299.342.164.121,00
5.654,14



3
Singkong
Import
774.594.540
3.356.844.337.595,00
4.333,67
Eksport
14.702.307
66.305.749.993,00
4.509,47



4
Kedelai
Import
1.703.915.985
10.189.262.874.777,00
5.979,90
Eksport
31.340.365
315.916.477.296,00
10.080,17

            Melihat data diatas memang  terdapat hal yang sedikit janggal dimana disaat Indonesia melakukan import terhadap berbagai komodity, disaat yang bersamaan pula Indonesia melakukan eksport. Hal ini tentu hal yang sangat bertentangan, dimana eksport hanya dapat dilakukan jika sudah terpenuhi kebutuhan pangan nasional seperti hyang dijelaskan dalam UU No 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, pada Bab IV Pasal 32 ayat 2 “Ekspor Pangan Pokok hanya dapat dilakukan setelah terpenuhinya kebutuhan konsumsi Pangan Pokok dan Cadangan Pangan Nasional”. Hal yang lebih menarik adalah maslah nilai atau harga, yang mana harga Ekspor beberapa komoditi jauh lebih tinggi dibandingkan harga import. Jika melihat hal ini, tentu sudah menjadi alasan yang cukup bagi masyarakat Indonesia untuk lebih memilih import dibandingkan produk lokal.
            Produk lokal yang pada umumnya selalu melambung tinggi harganya tidak terlepas dari keadaan infrastruktur yang kurang baik sehingga mempersulit proses distribusi bahan, dan sering kali produk sampai ketangan konsumen sudah melalui hingga beberapa tangan, sehingga menyebabkan harga sangat tinggi. Hal ini juga menyebabkan melemhanya pasar produk pangan lokal. Jika sudah demikian lalu harus bagaimana????
            Hal ini tentu bukanlah masalah yang mutlak tak dapat diatasi, namun sebaliknya hal ini menjadi hal yang mudah jika terbentuk sinergi dari seluruh elemen, baik pemerintah, pengusaha, petani dan juga masyarakat Indonesia. Pemerintah tentu harus memperbaiki regulasi dan melakukan pengawasan atau controling yang serius, sehingga mekanisme pertanian dari hulu sampai kehilir bahkan hingga ke pasar bisa terjadi dengan baik. Disamping itu masyarakat juga tentu harus berperan besar terhadap hal ini. Hal yang sering terjadi adalah, ketika berbicara pangan atau pertanian seringkali terjadi reduksi pemahaman, yang mana sering kali masyarakat mereduksikan pangan hanya semata-mata beras. Sebenarnya tidaklah demikian pangan adalah suatu hal yang sangat kompleks, bahkan tidak terlepas dari berbagai bidang ilmu baik politik, hukum dan ekonomi bahkan juga sejarah. Sebagai masyarakat Indonesia hal yang paling pokok yang harus kita lakukan adalah tentu dengan mencintai produk pangan lokal kita, dengan demikian maka akan meningkatkan citra dan daya saing dari produk lokal itu sendiri. Disamping itu hal ini akan meningkatkan pasaran dari produk pangan lokal yang dapat memicu semangat petani lokal untuk meningkatkan kualitas dari pertanian. Jadi sebagai masyarakat Indonesia, mari kita sama-sama mencintai produk pangan lokal kita.

Salam Pangan....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari budayakan berkomentar baik