Seiring perkembangan jaman yang begitu cepat yang juga
mewabah ke Indonesia telah membawa berbagai dampak yang signifikan, baik dampak
positif dan dampak negatif. Dampak positif tentu terlihat dari pemerataan
masyarakat Indonesia yang tidak lagi terpisah-pisahkan oleh suku, agama bahkan
juga ras. Namun hal ini tentu sangat tidak sesuai dengan dampak negatif yang
diberikannya.
Akhir-akhir ini sangat banyak permaslahan demi
permasalahan yang melanda negara tercinta ini, muali dari kasus korupsi, narkoba,
perceraian, kesenjangan sosial, pembunuhan dan yang hangat akhir-akhir ini
adalah perampasan hak anak dengan berbagai kasus. Hal ini terjadi tentu karena
semakin merosotnya akhlak anak-anak bangsa Indonesia yang tidak terlepas dari
budaya dunia modern namun melupakan norma-norma budaya Indonesia.
Bila kita melihat pemberitaan media akhir-akhir yang
sangat banyak mengenai pelanggaran hak anak Indonesia, muali dari pemerkosaan,
penyodoman, aborsi, bahkan pembunuhan
dan celakanya hal ini sangat banyak dilakukan oleh pihak keluarga dari anak itu
sendiri. Jika demikian maka akan kemanakah anak itu harus mengadu. Rumah yang
seharusnya tempatnya untuk berlindung berubah menjadi bak neraka yang sangat
menakutkan. Jika kehidupan luar baginya berbahaya, kini seolah-olah rumahnya
sendirilah yang lebih berbahaya. Seorang anak tak mampu berbuat apa-apa selain
hanya diam akibat dari tekanan-tekanan yang diberikan pelaku dengan berbagai
ancaman yang dapat membahayakan anak itu sendiri, sehingga anak hanya bisa terdiam
dalam tekanan meratapi haknya yang telah dirampas dengan cara yang biadab yang
tidak jarang berhujung pada kematian.
Semakin merosotnya akhlak anak-anak bangsa ini dapat
dilihat dari kasus-kasus yang selalu bertambah setiap tahunnya. Sepanjang
tahun 2011 KomNas Anak menerima 2.386 kasus pengaduan. Angka ini
meningkat 98% jika dibanding dengan pengaduan masyarakat yang di terima Komisi
Nasional Perlindungan Anak pada tahun 2010 yakni berjumlah 1.234 pengaduan.
Menurut Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI bahwa di
tahun 2010 lembaga ini mencatat 285.184 kasus perceraian. Angka ini
tertinggi sejak 5 tahun terakhir. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa
10.019 kasus perceraian dipicu cemburu, 67.891 dipicu masalah ekonomi, 91.041
kasus dipicu ketidakharmonisan dalam keluarga, dan 334 kasus dipicu masalah
politik. 59 persen gugatan cerai dilakukan oleh perempuan dan 48 persen
perceraian di picu oleh kasus perselingkuhan, dan selebihnya di picu oleh
Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dampak dari perceraian ini, ratusan ribu anak
menjadi korban terpisah dari salah satu orangtuanya.
Indonesia
merupakan salah satu negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai serta norma
agama dan budaya. Indonesia juga merupakan salah satu negara yang paling banyak
belajar agama pada dunia pendidikan, mulai dari SD, SMP, SMA, bahkan PT. Melihat
hal ini tentu peristiwa-peristiwa biadab tidaklah seharusnya terjadi dinegara
tercinta ini atau setidaknya hanya berada pada angka yang kecil.
Berikut kasus-kasus yang
terjadi pada anak-anak bangsa
Kekerasan
Dalam klaster anak membutuhkan perlindungan khusus,
sepanjang tahun 2011, KomNas Anak telah mencatat 2.508 kasus kekerasan terhadap
anak. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2010 yakni 2.413
kasus. 1.020 atau setara 62,7 persen dari jumlah angka tersebut adalah
kasus kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk sodomi, perkosaan,
pencabulan serta incest, dan selebihnya adalah kekerasan fisik dan
psikis. Celakanya hal ini banyak terjadi dengan pelaku utamanya adalah orang
terdekat dari korban itu sendiri, seperti orang tua, guru, paman, saudara dan
tetangga. Melihat kejadian ini tentu telah menjadi indikasi gagalnya keluarga
dan orang tua sebagai salah satu pilar penanggung jawab perlindungan anak
seperti pada UU Perlindungan Anak.
Anak Berhadapan Dengan Hukum
Demikian juga dengan angka kasus anak yang berhadapan
dengan hukum. Sepanjang tahun 2011 KomNas Anak menerima 1.851 pengaduan anak
yang berhadapan dengan hukum (anak sebagai pelaku) yang diajukan ke pengadilan.
Angka ini meningkat dibanding pengaduan pada tahun 2010, yakni 730
kasus. Hampir 52 persen dari angka tersebut adalah kasus pencurian
diikuti dengan kasus kekerasan, perkosaan, narkoba, perjudian, serta
penganiayaan dan hampir 89,8 persen kasus anak yang berhadapan dengan hukum berakhir
pada pemidanaan atau diputus pidana.
Sementara itu, sistem hukum dan penerapannya belum
mampu memberikan jaminan terhadap perubahan perilaku anak yang terlanjur
menjadi terpidana. Anak-anak yang mendekam di penjara justru seringkali
menyerap dan belajar berbagai pengalaman kriminalitas yang lebih canggih
lagi dari senioritasnya selama di dalam penjara. Pengalaman buruk selama
mengikuti proses hukum dan pemidanaan juga mempengaruhi tumbuh kembang anak
menuju kedewasaan. Keadaan ini menunjukkan bahwa negara khususnya penegak hukum
gagal melaksanakan amanat UU Pengadilan Anak, UU Perlindungan Anak maupun
instrumen internasional yakni Konvensi PBB tentang Hak Anak.
Narkoba
Pada 2006, pasien narkoba remaja di Rumah Sakit yang
khusus menangani kasus ketergantungan narkoba hanya 2000-an orang. 5 tahun
kemudian, yakni pada 2011, jumlahnya sudah naik empat kali lipat. Parahnya,
rata-rata pecandu narkoba berusia di bawah 19 tahun. Tak heran jika 2006,
Badan Narkotik Nasional (BNN) mengumumkan bahwa 80% dari 3,2 juta pecandu
narkoba adalah remaja dan pemuda. Sementara itu, angka siswa sekolah yang
terjerat narkoba juga terus meningkat dan dalam situasi memprihatinkan. Badan
Narkotika Nasional (BNN) mencatat sebanyak 110.870 pelajar SMP dan SMA menjadi
pengguna Narkotika. BNN juga melaporkan 12.848 anak siswa SD di Indonesia
terindentifikasi mengkonsumsi Narkoba.
Rokok
Indonesia merupakan negara ketiga yang paling
besar mengkonsumsi rokok setelah Cina. Fenomena yang terjadi adalah tidak hanya
orang dewasa yang cukup umur saja yang merokok, melainkan anak balita yang
masih berumur di bawah lima tahun pun sudah merokok. Data Susenas menunjukan
Prevalensi perokok yang mulai merokok pada usia 5 – 9 tahun meningkat lebih
dari 4 kali lipat sepanjang tahun 2001 – 2004, sedangkan remaja usia 15 – 19
tahun meningkat sebanyak 144% selama tahun 1995 hingga 2004. Secara rinci
Susenas 2001, 2004 dan Riskesdas 2007, 2010 memberikan gambaran tren perokok
pemula remaja usia 10-14 naik hampir dua kali lipat dalam waktu kurang dari 10
tahun. sementara kelompok usia 15-19 tahun naik dari 58,9% tahun 2001 menjadi
63,7% pada tahun 2004.
Pembuangan Bayi
Sepanjang tahun 2011, KomNas Perlindungan Anak
menghimpun data melalui pengaduan lanngsung masyarakat maupun laporan media
masa ditemukan 186 bayi sengaja dibuang oleh kedua orangtuanya. Angka ini
meningkat dibanding tahun 2010 yakni 104 bayi. 68 persen bayi yang
ditemukan dalam kondisi meninggal dunia, selebihnya dapat diselamatkan
oleh mayarakat dan dititipkan ke panti-panti sosial anak milik pemerintah
maupun swasta. Umumnya, bayi-bayi ini ditemukan masyarakat di bak sampah,
halaman atau teras rumah warga masyarakat, di sungai, got dan pembuangan air
selokan, rumah ibadah, terminal bis serta di stasiun dan di terminal kereta api.
Penculikan Bayi
Tahun 2011 ini, KomNas Anak menerima Pengaduan
120 kasus anak hilang. 35 diantaranya hilang dari rumah bersalin seperti Rumah
Sakit, Klinik maupun Puskesmas. Jumlah ini meningkat jika dibanding tahun
2010 yakni 111, 26 anak diantaranya hilang di tempat yang sama, selebihnya
hilang dari lingkungan rumah, sekolah dan tempat-tempat bermain anak. Pelaku
penculikan dan penghilangan paksa umumnya adalah orang terdekat, dan
paling tidak mengenal korban atau keluarganya.
Dari pengalaman empirik Komisi Nasional Perlindungan
Anak mencatat, bahwa tujuan penculikan dan penjualan anak-anak berusia di
bawah 1 tahun, adalah untuk tujuan adopsi ilegal baik untuk permintaan dalam
negeri dan inter-country. Dari kasus-kasus penculikan bayi yang berhasil
dibongkar oleh pihak Kepolisian ditemukan fakta bahwa bayi-bayi yang diadopsi
secara illegal, tersebut umumnya para adopter memberikan imbalan kepada para
pelaku dengan kisaran harga 5 -10 juta sebagai pengganti biaya
persalinan dan perawatan. Selain itu, ada juga data-data menunjukkan anak
diculik untuk tujuan eksploitasi seksual dan eksploitasi ekonomi bagi
anak-anak yang berusia dibawah 12 tahun. Dipekerjakan di jalanan maupun
ditempat-tempat prostitusi.
Aborsi
Dalam kasus perampasan hak hidup, data yang dihimpun
KomNas Perlindungan Anak menemukan dalam kurun waktu tiga tahun
(2008-2010) kasus aborsi terus meningkat. Tahun 2008 ditemukan 2 juta jiwa anak
korban Aborsi, tahun berikutnya (2009) naik 300.000 menjadi 2,3 juta janin yang
dibuang paksa. Sementara itu Pada tahun 2010 naik dari 200.000 menjadi 2,5 juta
jiwa. 62,6 % pelaku diantaranya adalah anak berusia dibawah 18 tahun. Metoda
aborsi 37 persen dilakukan melalui kuret, 25 persen melalui oral dan pijatan,
13 persen melalui cara suntik, 8 persen memasukkan benda asing ke dalam rahim
dan selebihnya melalui jamu dan akupuntur.
Penelantaran Anak
Dirjen Yanresos Depsos RI tahun 2009, melaporkan
ditemukan 17.694.000 anak balita terlantar dan hampir terlantar. Sementara itu
anak yang baru mendapatkan pelayanan sosial baru mencapai 1,186.941 jiwa
atau baru 6,71 persen saja, sementara 5.4 juta anak-anak dalam kondisi
terlantar dan membutuhkan perlindungan dari negara.
Anak Pecandu Pornografi
Sepanjang tahun 2011, KomNas menerima 22 kasus pengaduan
tentang pornografi yang dilakukan anak-anak usia SMP dan SMA. Sementara itu,
menurut data Yayasan Buah Hati dilaporkan bahwa 83,7 persen anak SD kelas IV
dab Kelas V yang di teliti telah kecanduan pornografi.
Fakta mencengangkan lain adalah perilaku
seks bebas yang semakin meraja lela terutama dikalangan remaja. Berikut adalah
data survei dari Komnas PA. Sebanyak 62,7% remaja SMP tidak perawan dan 21,2%
remaja mengaku pernah aborsi.Perilaku seks bebas pada remaja tersebar di kota
dan desa pada tingkat ekonomi kaya dan miskin. Data tersebut didapat
berdasarkan survei yang dilakukan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA)
tahun 2008, dari 4.726 responden siswa SMP danSMAdi17kotabesar. Sementara
menurut data BKKBN tentang Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia tahun
2002-2003, remaja yang mengaku memiliki teman yang pernah berhubungan seksual
sebelum menikah pada usia 14-19 tahun mencapai 34,7% untuk perempuan dan 30,9%
untuk laki-laki.
Referensi dan Sumber Data :