Sabtu, 09 Maret 2013

Restorasi Jati Diri Bangsa Sebagai Negara Agraria



            Jika berbicara mengenai restorasi bangsa sebagai negara agraris, tentu sekilas kita harus menilik sejarah pertanian bangsa Indonesia. Indonesia selalu dikenal dengan negara agraria, yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, tanah yang subur dan budaya yang sangat beragam. Pentingnya menilik sejarah pertanian bangsa tentu bukanlah hanya semata-mata untuk bernostalgia atau sekedar membangga-banggakan prestasi bangsa dahulu kala yang memang sukses mencapai swwasembada beras dan negara eksportir gula yang sangat besar, tapi kita melihat sejarah adalah sebagai cermin untuk bisa menentukan  tolak ukur untuk sebuah tindakan memperbaiki keadaan pertanian bangsa yang sudah sangat mengenaskan bahkan akan terancam krisis pangan. Akhir-akhir ini memang pangan telah menjadi topik yang sangat hangat dibicarakan diberbagai kalangan, sebagai refleksi dari keadaan pertanian bangsa yang kini menjadi persoalan yang sangat krusial.

            Perjalanan sejarah pertanian Indonesia dihiasi beberapa prestasi yang patut untuk dibanggakan, yang mana setelah kemerdekaan bangsa, Indonesia berhasil melakukan swwasembada beras dan dikenal sebagai negara eksportir gula yang utama. Namun sangat disayangkan hal ini tidak bisa bertahan lama, karna Indonesia dikenal sebagai negara yang berhasil menjadi negara swasembada beras hanya bertahan hingga pada tahun 1984. Pada tahun 1985, Indonesia mengimpor beras sebanyak 9.429. Sedangkan pada Tahun 1987 impor beras Indonesia meningkat menjadi 54.830 ton dan pada Tahun 1992 mencapai 566.441 ton, hingga pada tahun 2012 Indonesia mengimpor beras sebanyak 1,2 juta ton dengan nilai 6,5 triliun. Angka ini telah membawa negara Indonesia menempati peringkat kedua importir beras terbesar didunia setelah negara Filipina.

            Indonesia yang dulu dikenal sebagai negara swasembada beras, kini telah menjadi hanya sebuah cerita masa lalu. Indonesia yang dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam melimpah juga sepertinya hanyalah sebuah kalimat semata, karna kenyataannya banyak sumber daya alam Indonesia justru dinikmati negara lain, yang lebih miris adalah kekayan alam Indonesia tidak sedikitpun dinikmati bangsa dan celakanya masyarakat Indonesia telah menjadi buruh negara lain di Indonesia. Kita tilik sejenak UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang menyatakan "Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat", namun apa mau dikata, sepertinya yang terjadi dinegara tercinta malah sebaliknya kekayaan alam negeri adalah untuk kesejahteraan negara lain dan hanya menyisakan pilu ditanah air.

Lalu bisakah restorasi jati diri bangsa sebagai negara agraris itu dilakukan???

            Tentu bukan tidak mungkin hal ini terjadi, jika melibatkan berbagai elemen, salah satu yang paling signifikan adalah menerapkan program yang berbasis kemitraan petani lokal Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan perluasan lahan pertanian serta menghentikan segala upaya pengalihfungsian lahan pertanian. Lalu kemudian diikuti dengan pemberian pupuk bersubsidi serta bibit-bibit unggul bagi petani. Dengan demikian sejauh ini akan dapat memicu semangat para petani untuk bertani. Hal lain tentu dengan melibatkan lembaga-lembaga pertanian atau lembaga-lembaga penilitian untuk melakukan penelitian-penilitian serta pengembangan-pengembangan yang dapat membangun pertanian tentu dengan penerapan teknologi pertanian, sehingga selain mengurangi tenaga manusia, juga meningktakan efesiensi kerja yang dapat meningkatkan jumlah produksi.

            Terlepas dari hal-hal diatas, yang terpenting adalah kebijakan pemerintah akan sistem pertanian Indonesia, salah satu yang bisa dikorelasikan adalah terkait kebijakan import. Impor kini telah merajalela ditanah air, dan hal ini telah menjadi salah satu penyebab yang melumpuhkan pasar lokal. Selain itu perlunya perhatian khusus dari pemerintah pada sektor pertanian, seperti hanlnya pada era pemerintahan presiden Soeharto yang meletakkan sektor pertanian sebagai prioritas utama. Harga pasar lokal juga tentu perlu menjadi perhatian, karena seringkali harga pada pasar lokal melambung tinggi dan tidak dibarengi dengan kualitas daripada produk yang menyebabkan konsumen lebih memilih untuk membeli produk import yang hrganya lebih murah. Hal ini terjadi tentu tidak terlepas dari lemahnya pengawasan dari pemerintah akan hal ini, terbukti bahwa sistem import diserahkan sepenuhnya pada mekanisasi pasar.

            Indonesia memiliki berbagai organisasi yang bermitra kepada petani, baik ormas maupun organisasi kemahasiswaan. Pemberdayaan akan organisasi ini bisa saja berpengaruh besar akan kemajuan pertanian Indonesia, karena terbukti selama ini justru organisasi inilah yang lebih dominan memperjuangkan kemajuan pertanian Indonesia, nkarena didalam organisasi itu sendiri banyak yang memang berprofesi sebagai petani. Dengan demikian secara tidak langsung petani juga telah ikut diberdayakan.

            Hal lain untuk masa mendatang adalah generasi bangsa, yaitu pelajar. Pelajar adalah anak—anak bangsa yang nantinya akan menjadi pemangku kebijakan yag saat ini berjalan. Kenyataan yang ada saat ini adalah kurangnya minat para pelajar (paling tampak pada kalangan mahasiswa) terhadap pertanian. Jika saja kita bertanya kepada para pelajar mengenai cita-citanya, maka hanya ada 1 dari 1000 orang (mungkin lebih 100.000) yang akan menjawab ingin menjadi petani atau memperbaiki pertanian di Indoensia. Jika dilihat dari kondisi petani yang ada di Indoensia, memang hal ini adalah hal yang realistis. Petani di Indonesia adalah pada umumnya masyarakat yang ekonominya berada pada kelas menengah ke bawah. Tidak heran jika seorang petani akan mati-matian berjuang untuk anaknya agar kelak bisa menjadi pekerja kantoran dan tidak menjadi petani. Hal- hal ini mungkin bisa dikatakan telah menjadi stigma dibanyak kalangan, dengan demikian perlu adanya suatu upaya untuk merubah paradigma ini. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan mensejahterakan kehidupan petani, sehingga akan menjadi parameter bagi generasi yang masih berada pada dunia pendidikan. Kemudian perbaikan sistem pendidikan, tentu dengan sentuhan-sentuhan teknologi moderen, sehingga bagi para pelajar pertanian bukanlah merupakan pendidikan yang tertinggal. Selain itu adalah dengan meringankan biaya pendidikan, sehingga akan mempermudah masyarakat yang memiliki ekonomi lemah untuk turut menikmati pendidikan pertanian. Terakhir adalah memberikan apresiasi terhadap pelajar-pelajar yang berhasil berkreasi menemukan sesuatu untuk perkembangan dunia pertanian.

            Penerapan berbagai hal-hal serta pemberdayaan berbagai elemen akan memulai sebuah upaya perjalanan menuju kemandirian pangan bangsa, sehingga krisis panganpun bisa dicegah dan jati diri negarapun seabagai negara yang berhasil swasembada beras terjadi sebuah proses restorasi. Dengan demikian, maka relevanlah negara Indonesia sebagai negara yang selalu disebut-sebut negara agraris.


Referensi:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari budayakan berkomentar baik